Oleh : Dr. Funco Tanipu., ST,. M.A., (Koordinator Desk Pilkada Nahdlatul Ulama Gorontalo).
Kontras.id, (Opini) – Lusa, Rabu 27 November 2024, kita diharuskan untuk memilih calon kepala daerah. Total ada 26 pasangan calon baik di level Provinsi dan Kabupaten/Kota. Setiap orang Gorontalo yang memiliki hak pilih, hanya bisa memilih dua kandidat yakni untuk level Kabupaten/Kota maupun Provinsi. Artinya, untuk menentukan pilihan, hanya membutuhkan waktu sekitar 1 – 2 jam untuk bisa membaca, menelaah dan menentukan pilihan.
Pertanyaannya, apakah memilih itu mudah? Bisa disebut mudah, bisa juga sulit. Mudah jika misalnya hanya karena mendengar perintah atau arahan orang lain, mudah karena yang penting sudang mendapatkan “sesuatu” sebagai imbalan, siapapun dia langsung dipilih. Akan sulit jika seorang pemilih menginginkan daerahnya semakin maju, bukan semakin mundur pembangunannya. Tapi, untuk seorang pemilih berkewajiban tahu siapa yang akan dia pilih. Untuk memudahkan dalam memilih, saya membagi tiga variabel yang bisa dijadikan instrument untuk membantu memilih. Dalam memilih harus ada rumusnya, rumusnya ada pada beberapa variabel yakni Rekam Jejak (RJ), Kemampuan Diri (KD) hingga Gagasan dan Pengetahuan (GP) setiap kandidat. Dari tiga hal tersebut, bisa diurai secara lebih rinci sebagai berikut ;
Faktor Rekam Jejak, jika ia petahana, maka cek dan lihat secara detail kinerjanya dalam periode tersebut. Periksa detail apa yang dia lakukan selama menjabat, jangan sampai “tidak ada yang rakyat dapa rasa”. Cek secara detail melalui internet (bisa lewat google) namanya dan apa yang telah ia kerjakan selama ini, khususnya mengenai daerah yang ia pimpin. Periksa media sosialnya, apakah dia punya akun yang dia kelola khusus atau dikelola tim, bagaimana interaksi dengan masyarakat dan apakah ada rilis kinerja selama dia menjabat. Lihat dan periksa foto-foto kegiatannya. Hitung berapa kali dia berbicara di media, apa gagasannya, terealisasi atau tidak gagasan dan ucapannya itu? Dan apakah gagasan dia saat kampanye tertuang dalam dokumen perencanaan hingga bisa diimplementasikan. Lihat pula bagaimana ia mengelola gajinya, apakah dia transparan dengan gajinya selama ini? Cek apakah dia sudah melaporkan LHKPN ke KPK? Apa dia pernah publikasi kekayaannya? Dan, yang paling penting, apakah selama dia menjabat apakah rakyat puas atau tidak dengan dirinya, apakah ada kebijakan yang buruk untuk rakyat, hingga apa “kerusakan” yang ia buat selama menjabat.
Bagi petahana maupun penantang, silahkan di cek melalui rekam jejak mengenai kehidupan pribadinya, pergaulannya, lihat pula keluarganya, latar belakang pendidikannya, lihat aktifitas sosial dan ekonominya.
Jika ia adalah penantang baru, dan bukan petahana, maka sebaiknya periksa rekam jejak dirinya dan keluarganya, apakah selama ini dia memiliki rekam jejak pengabdian masyarakat yang terlihat. Apakah ia tidak memiliki catatan buruk selama berada di masyarakat, inovasi dan karya apa yang pernah ia torehkan selama ini? Bagaimana pendidikannya, latar belakang pekerjaannya, kehidupan spiritualnya, keluarganya, hingga bagaimana testimoni orang-orang tentang dirinya.
Faktor Kemampuan Diri, sebagai pemimpin nanti, dia harus memiliki jiwa kepemimpinan yang kuat, ia tak boleh loyo dan lemah, ia juga harus menunjukkan sebagai strong leader. Tentu saja, dia adalah orang yang mudah dihubungi, dia juga tidak sungkan-sungkan membantu masyarakat {ringan tangan}. Dia pun bukan sebagai orang yang “talinga tipis”, gampang emosian, tidak percaya tim (jika terpilih nanti percaya birokrasi), harus bisa mengayomi, mampu memutuskan sesuatu dengan cekatan dan efektif (bukan loloyota).
Kita banyak disodorkan pengalaman kepemimpinan yang sangat lemah, mudah diombang-ambingkan situasi, emosional, sulit berkomunikasi, merasa paling benar, hebat dan pintar, tidak bisa bekerjasama dalam tim apalagi mampu mengayomi. Hanya mau tampil saat yang baik, ketika pemerintahan lagi sedang tidak baik malah menghilang dari pantauan publik.
Kenapa harus ideal begitu? Sebab seorang kepala daerah di level Kabupaten/Kota/Provinsi akan mengelola hajat hidup ratusan ribu rakyat, akan mengelola anggaran ratusan milyar bahkan triliun, akan memimpin tim birokrasi ribuan orang. Di saat yang sama, jika mentalitas pemimpin hanya seorang yang baperan, selalu mengeluh, tidak tahan tekanan, tidak adaptif pada perubahan, hanya mau menang dan benar sendiri, bahkan lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan keluarga, maka tentu saja yang akan rusak adalah daerah secara keseluruhan.
Apalagi kondisi fiskal daerah yang semakin kritis, indeks kemiskinan masih tinggi, indeks pemberdayaan gender yang malah turun, sedangkan indeks ketimpangan gender malah naik. Belum lagi dengan kondisi infrastruktur yang masih belum baik, ditambah isu kerusakan sumber daya alam yang semakin parah. Belum beban sinkronisasi pembangunan dengan pusat, level regional dan desa yang selama ini belum tertata dengan baik.
Faktor Gagasan dan Pengetahuan, bagi incumbent (yang sudah duduk) maupun baru maju sebagai penantang, silahkan cek secara detail gagasan dia dalam Pilkada saat ini, apakah hal tersebut bisa ia realisasikan selama lima tahun ini? Apa yang ia janjikan kepada anda, kabupaten, kecamatan dan desa/kelurahan anda? Dia tahu tidak soal tugas, kewenangan dan fungsinya sebagai kepala daerah/wakil? Baca visi-misinya yang ia setor ke KPU, berapa halaman visi misi yang ia susun, tonton ulang debat kandidat yang di kanal Youtube.
Dalam konteks anggaran, apakah dia tahu soal bagaimana membaca dan merumuskan APBD, apakah dia tahu soal mekanisme penyusunan RPJMD, Renstra, Renja, RKPD, KUA PPAS, RKA dll, apakah dia tahu bagaimana mekanisme perencanaan anggaran dan perumusan hingga soal rumus penentuan prioritas program dalam APBN/APBD/P? Cek juga apakah dia tahu dan bisa membaca RKA hingga DPA dari OPD/K/L?
Dalam kewenangan harmonisasi regulasi, apakah dia bisa dan punya kemampuan serta pengalaman dalam mereview dan melaksanakan koordinasi penyusunan regulasi? Dia bisa membaca dan mengetahui soal penyusunan Perbup/Perda dan regulasi terkait? Apakah dia juga punya kemampuan dan pengalaman dalam regulatory impact assesment?
Dalam konteks pengawasan dan evaluasi coba cek dan lihat apakah dia paham soal pengawasan reguler melalui dokumen-dokumen pelaporan kinerja K/L/OPD? Apakah dia bagaimana penyusunan LKPJ, apakah dia tahu bagaimana melakukan evaluasi reguler setiap OPD?
Cek juga nanti, apa dia punya gagasan yang terbaru untuk tata kelola pemerintahan atau hanya biasa-biasa saja? Pernahkah dalam media sosialnya dia mempublikasikan itu? Dalam kampanye dialogis dan monologis, apakah anda pernah mendengar itu?
Telaah, Teliti, Putuskan!
Setelah membaca tiga variabel diatas yakni Rekam Jejak, Kemampuan Diri, serta Gagasan dan Pengetahuan, maka telitilah dan periksa satu persatu kandidat yang ada, lalu berupayalah untuk tabayyun pada setiap informasi yang negatif, perlu ada klarifikasi dan konfirmasi sehingga obyektifitas memilih lebih jernih.
Kita saat ini sedang memilih Calon Kepala Daerah/Wakil yang akan mengurusi hajat hidup orang banyak dengan segala macam latar belakang.
Kita tahun ini juga telah memilih anggota legislatif, jangan samakan cara memilihnya. Kita memilih orang yang bertanggung jawab dalam melakukan eksekusi. Ini tidak sekedar “pambae”, “depe kuti-kuti bagus”, dengan “gampang mo hubungi”. Bukan itu saja, tapi harus lebih dari itu.
Pemilihan ini adalah pemilihan yang bersifat rasional, bukan emosional. Rasionalitas pemilih didasarkan pada kinerja, gagasan dan komitmen dia jika terpilih nanti. Bukan diluar itu. Soal dia pernah berjasa memberi uang, membantu anda dalam hal-hal lain, hingga jika misalnya ada hubungan emosional yang lain, itu adalah pilihan emosional yang bersifat pribadi. Jangan sampai emosi anda mengalahkan rasionalitas anda, sehingga yang terpilih bukan orang yang mampu bertanggung jawab, tapi yang karena hasrat pribadi semata.
Kita sedang memilih orang yang perlu dan paham mengenai tugasnya kelak. Kita butuh orang yang punya power dan pengalaman dalam mengakumulasi aspirasi menjadi program kemaslahatan.
Ini bukan soal 50-500 ribu rupiah. Ini soal pertaruhan daerah kita! Jangan tambah lagi beban berat daerah ini dengan pilihan anda yang emosional itu. Masih ada waktu bagi anda sekalian untuk menelaah, meneliti dan memustukan untuk memilih.
Jangan hanya karena gemerincing rupiah lalu anda biarkan dia seenaknya mengelola daerah ini, sebab jika anda menerima rupiah tersebut, maka sama saja anda membiarkan urusan lima tahun ini akan sia-sia.
Politik bukan sekedar 27 November 2024 saja, politik itu adalah 365 hari x 5 tahun. Partisipasi politik anda jangan hanya sederhanakan saat pilkada. Partisipasi politik itu adalah day to day politics, anda harus bisa mengawasi, memantau. Jika anda salah dan keliru memutuskan, apalagi hanya karena uang, maka uang yang anda terima itu bukan saja sebagai suap, tapi sebagai “ongkos sakit hati” dan “uang air mata”.