Oleh : Dr. Funco Tanipu S.T., M.A.,(Dosen Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Gorontalo dan Founder The Gorontalo Institute).
Kontras.id, (Opini) – Tanggal 27 – 29 Agustus 2024 adalah masa pendaftaran pasangan calon Pilkada, sebelumnya pemenuhan persyaratan dukungan Pasangan Calon Perseorangan telah dimulai sejak 5 Mei – 9 Agustus 2024.
Jika kita menghitung sejak Mei bulan ini, berarti tinggal 100 hari lagi kita akan menyaksikan siapa saja yang beroleh syarat dukungan untuk pencalonan, apakah dukungan partai maupun dukungan perseorangan (jalur independen).
Siapapun yang pada hari-hari belakangan ini telah mendaftarkan diri ke partai politik, baik di kantor partai di tingkat Kabupaten/Kota maupun Provinsi, akan ditentukan nasibnya pada 100 hari lagi, pada 27 – 29 Agustus 2024.
100 hari bukanlah waktu yang panjang, karena jika aktifitas berkomunikasi dengan partai sembari mencari pasangan calon hanya sekitar 10 jam per hari, maka sisa hari hanyalah 41 hari lagi.
Momen 41 hari ini sangatlah tipis. Apalagi jika kita urai per Kabupaten/Kota hingga Provinsi belum ada partai yang sudah mengeluarkan format dukungan resmi untuk syarat pencalonan. Rata-rata baru sebatas surat tugas yang isinya adalah penugasan untuk melakukan sosialisasi, berkomunikasi serta mencari dukungan partai lain hingga mencari pasangan calon.
Partai-partai tentu akan merekrut calon kepala dan wakil kepala daerah dengan persyaratan yang rigid seperti (1). tingkat keterkenalan, ketersukaan hingga keterpilihan yang cukup, (2). dukungan partai lain jika tidak bisa mengusung sendiri, (3). memiliki pola komunikasi yang lancar, hingga (4). memiliki sumber daya yang cukup.
Pada empat hal ini, kandidat-kandidat yang sudah digaungkan di media, rata-rata belum memiliki keempat komponen dimaksud. Ada yang sudah memiliki partai dan berkomunikasi dengan baik, tetapi sumber daya terbatas. Ada yang sumber daya tidak terbatas tapi masih terkendala dukungan partai. Hingga ada yang tidak memiliki keempatnya, kecuali niat. Selain itu, ada yang masih mengandalkan nama besar, walaupun nama baik sudah sangat minimal.
Pengalaman pada pilkada sebelumnya, rekomendasi partai di tingkat pusat yang telah ditandatangani oleh ketua umum dan sekretaris jendral, sebagian besar nanti pada jelan seminggu pendaftaran, bahkan ada yang tinggal 2 hari sebelum pendaftaran ditutup.
Karena itu, berangkat dari pengalaman pilkada, hingga apa yang harus disiapkan untuk mendapatkan dukungan partai, maka bagi setiap kandidat tidak mungkin nanti mo “baku dola” rekom di tingkat pusat, kecuali memang memiliki sumber daya tak terbatas dan jaringan nasional yang kuat serta nama besar level nasional.
Bagi yang tidak memiliki itu, semestinya mulai melakukan sosialisasi di tingkat bawah, melakukan komunikasi politik agar dapat direkomendasikan oleh partai di tingkat Kabupaten/Kota maupun Provinsi. Sebab, walaupun jika rekom partai di tingkat bawah sudah ada, tapi modal elektoral rendah, tentu tidak akan bisa mulus mendapatkan putusan partai pusat. Begitu pula walaupun memiliki sumber daya tidak terbatas tapi tidak melakukan sosialisasi maka posisi elektoralnya pasti rendah. Apalagi tidak ada sumber daya pendukung, hanya mengandalkan nama besar saja, yang pada pemilu barusan bukti bahwa nama besar tidak lagi linier dengan keterpilihan.
Dari kesemua hal diatas, ada yang mulai jarang dibicarakan dan dijadikan syarat utama pencalonan, yakni gagasan dan ide membangun daerah yang nantinya akan dimasukkan pada visi misi kandidat.
Padahal, inti proses elektoral dan kandidasi adalah menyeleksi gagasan dan ide, sejauh mana ide dan gagasan tersebut bisa menyelesaikan masalah daerah hingga bagaimana ide dan gagasan tersebut mudah diterapkan, bukan hanya ilusi dan utopia.
Sayangnya, substansi ini cenderung dikesampingkan, partai-partai termasuk calon baru akan menyusun hal tersebut jika nanti sudah pada tahapan debat. Bukan dari sosialisasi termasuk proses rekrutmen di masing-masing partai.
Waktu yang tipis ini mesti menjadi perhatian penting, apakah setiap kandidat akan menjadi pasangan yang terdaftar di KPU ataukah hanya berakhir pada status kandidat semata. Belum jika membahas mengenai syarat dokumen pencalonan yang dalam pengalaman pilkada-pilkada banyak terjadi perselisihan, yang membuat ada kandidat yang dicoret dari pencalonan hingga mengganggu proses dan tahapan pilkada.
Karenanya, sisa waktu ini mesti dikerjakan secara komprehensif dan matang, agar kualitas kandidat yang diusung bukanlah yang abal-abal, tapi memiliki legitimasi kuat dengan modal elektoral yang tinggi, sumber daya yang cukup, komunikasi politik yang matang hingga gagasan yang bisa membawa pada kesejahteraan.(*).