Kontras.id, (Gorontalo) – Pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Anti Premanisme oleh Kepolisian Daerah (Polda) Gorontalo menuai perhatian publik. Langkah tegas ini dianggap sebagai bentuk respons cepat aparat terhadap keresahan masyarakat atas maraknya tindakan premanisme yang mengganggu keamanan di ruang publik.
Ketua Komisariat Hukum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Limboto, Arya Waraga menyampaikan bahwa langkah tersebut sebagai representasi kehadiran negara dalam menjamin rasa aman warga.
Meski begitu, Arya mengingatkan bahwa sebagai negara hukum yang demokratis, Indonesia tidak boleh kehilangan arah dalam menerapkan penegakan hukum.
“Penindakan terhadap premanisme penting, tapi tidak boleh lepas dari prinsip keadilan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia,” ujar Arya kepada Kontras.id, Rabu 14/05/2025.
Arya mengatakan bahwa premanisme sebagai bentuk kejahatan jalanan (street crime) yang memang menimbulkan keresahan. Namun, cara penanganannya tidak boleh mengesampingkan asas due process of law, yakni bahwa semua tindakan hukum harus dilakukan secara sah, adil, dan berdasarkan prosedur yang berlaku.
“Hal ini sejalan dengan amanat Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 yang menjamin hak warga atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman,” kata Arya.
Arya menjelaskan bahwa fungsi utama kepolisian sebagaimana tertuang dalam Pasal 13 UU Nomor 2 Tahun 2002, meliputi pemeliharaan keamanan, penegakan hukum, serta perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
“Artinya, pendekatan hukum yang digunakan tidak boleh semata-mata represif. Perlu pendekatan humanis, transparan, dan akuntabel,” jelas Arya.
Menurut Arya, tindakan yang terlalu keras tanpa kontrol hukum justru bisa memunculkan masalah baru.
“Kalau hukum ditegakkan tanpa etika, bisa saja aparat tergelincir pada tindakan yang melanggar hukum itu sendiri,” kata Arya.
Arya mengatakan bahwa ernyataan ini sejalan dengan pandangan Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia, Prof. Dr. Topo Santoso.
“Ia menegaskan bahwa penegakan hukum harus dibatasi oleh prinsip-prinsip hak asasi manusia dan konstitusi. Tanpa kendali hukum dan etik, hukum bisa kehilangan makna keadilannya,” tegas Arya mengutip pernyataan Prof. Dr. Topo Santoso.
Dengan demikian, kata Arya, pembentukan Satgas Anti Premanisme harus dipahami sebagai bagian dari strategi hukum yang lebih luas dan berimbang.
“Penindakan keras tetap perlu, tetapi harus diiringi dengan pengawasan, transparansi, dan pelibatan masyarakat dalam prosesnya,” terang Arya.
Rasa aman yang sejati, menurut Arya, bukan semata karena ketegasan aparat, tetapi karena adanya kepastian bahwa setiap warga diperlakukan secara adil di hadapan hukum.
“Keamanan yang dibangun dengan rasa takut akan kekerasan aparat bukanlah keamanan yang hakiki,” tegas Arya.
Polda Gorontalo dinilai telah menunjukkan langkah awal yang strategis. Namun demikian, tolok ukur kesuksesan Satgas ini bukan hanya pada banyaknya pelaku yang ditindak, tapi juga pada bagaimana hukum ditegakkan secara bermartabat dan tidak melanggar hak asasi manusia.
Waraga berharap langkah ini menjadi awal dari reformasi pendekatan keamanan yang lebih berkeadilan di Gorontalo.
“Kami mendukung ketegasan negara, tetapi jangan sampai hukum dijadikan alat intimidasi. Negara harus hadir dengan wajah yang adil dan humanis,” tandas Arya.