Oleh : Zulkarnain Musada,(Mahasiswa Pascasarjana Universitas Bosowa).
Kontras.id (Opini) – Pergi wisata, datang sekolah. Beli 1 tiket, bonus 2 manfaat. Tiket wisata, tukar sekolah. Modelnya bisa beragam, tapi esensi dan subtansi tidak bergeser. Sebuah hasrat keprihatinan; sektor pariwisata di buka, sementara pendidikan tertutup. Kita bisa membelokkan masalah tersebut, dengan catatan jangan setengah-setengah soal pendidikan dan pariwisata.
TASIKOLA (Tamasya Sambil Sekolah). Program gerakan kaum muda desa dengan menghadirkan sekolah non formal sebagai alternatif langkah kerja terhadap kondisi pendidikan yang masih belum normal (daring/luring/PJJ). Tentunya, tidak semua desa mampu mengakses internet, dan tidak semua orang tua memiliki serta bisa membeli handphone dan pulsa data.
TASIKOLA merupakan filter terhadap kasus KDRT, pelecehan seksual, human trafficking sampai mencegah angka siswa putus sekolah. TASIKOLA juga sebagai media supervisi orang tua, masyarakat dan lingkungan terhadap dampak meluasnya ketergantungan anak-anak pada gawai “handphone” (games, konten video, dsb). TASIKOLA menghadirkan kembali buku sebagai “jendela dunia” yang telah berpaling secara historis, dan mematikan pandangan tentang google sebagai “pintu dunia”.
Posisi desa juga menyamai peran Negara; “Desa hadir ditengah-tengah Pandemi Covid-19”. Jadi, negara sibuk dengan sosialisasi vaksinasi, pemulihan ekonomi nasional, dan lainnya. Maka, desa sibuk mengurus pendidikan dan pariwisata secara masif di desa. Inilah kombinasi solusi “mata bebek dan mata elang”.
Selain itu, TASIKOLA juga sebagai upaya membasiskan promosi “wisata desa” secara bombastis. Melibatkan siswa dan anak muda desa secara langsung, mengawinkan sektor pendidikan dan pariwisata. Jika ini dilakukan dengan “peta jalan” pengelolaan yang terarah, maka hasil “impact-nya” luar biasa hebat. Bukan tidak mungkin TASIKOLA berselancar dengan kanal media sosial (Facebook, Instagram, YouTube). Hamparan linimasa media sosial akan dibanjiri status; foto, video bahkan narasi tentang TASIKOLA, apalagi jika ini menjadi gerakan bersama. TASIKOLA berjalan berdampingan bersama Media Sosial; TASIKOLA-GEMAS (TASIKOLA-Gerakan Media Sosial).
Tidak hanya itu, TASIKOLA sebagai “simbol” bahwa anak-anak muda desa tidak memandang desa dengan menggunakan kacamata ibu kota. Inilah peluang kepedulian, keprihatinan, kolaborasi yang semestinya di bidik oleh anak muda desa sebagai barak keringat perjuangan.
Sekali lagi, bagi saya ini bentuk solusi untuk Gorontalo Utara, juga Provinsi Gorontalo. Pemantik sekaligus pemicu adrenalin kaum muda desa yang lagi sibuk dan lalu lalang mengurus kota.
Jadi, saripatinya “TASIKOLA” adalah sebuah model sederhana menuju cita-cita dan program “Merdeka harus Belajar” serta “Wisata halal Belajar”.
Apapun problem dunia; pendidikan sebagai pelita peradaban manusia. Sedangkan wisata adalah tanda pertemanan semesta alam dan kemanusiaan.(***).