Oleh : Ikrar Setiawan Akasse, (Pegiat Pemilu-Divisi Advokasi KIPP Provinsi Gorontalo).
Kontras.id, (Opini) – Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) adalah salah satu pilar demokrasi di Indonesia. Melalui sarana Pilkada, masyarakat dapat secara langsung memilih pemimpin di daerah yang sesuai dengan harapan rakyat dapat membawa perubahan positif bagi daerahnya. Akan tetapi tidak jarang hasil Pilkada justru memicu konflik, terutama ketika ada dugaan kecurangan, pelanggaran-pelanggaran, ataupun ketidakpuasan terhadap hasil pemilihan. Dalam konteks ini, penulis mentitikberatkan kepada sengketa proses pemilihan dimana persoalan batas waktu yang menjadi kendala dalam penanganannya.
Aspek Hukum dan Pengaturan Sengketa Pilkada
Dalam sistem hukum kita, penyelesaian sengketa Pilkada diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 2015, Undang-Undang No. 8 Tahun 2015 dan Undang-Undang No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (UU Pilkada). Selanjutnya, sengketa Pilkada sendiri terbagi menjadi dua yakni Sengketa Proses yang meliputi permasalahan yang timbul selama tahapan Pilkada berlangsung, dan Sengketa Hasil yang menyangkut hasil akhir pemilihan.
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) adalah lembaga yang diberikan amanat oleh UU Pilkada untuk menangani sengketa proses Pilkada yang terjadi pada tahapan yang berjalan. Bawaslu Provinsi atau Kabupaten/Kota berwenang menerima, memeriksa dan memutus sengketa proses pemilihan. Bakal Pasangan Calon maupun Pasangan Calon yang merasa dirugikan secara langsung dapat mengajukan keberatan ke Bawaslu Provinsi atau Kabupaten/Kota. Mekanisme penyelesaian sengketa pun dilakukan dengan cara musyawarah, dan apabila nanti musyawarah tidak mencapai kesepakatan antara pihak, maka Bawaslu akan memutus sengekta tersebut.
Jika merujuk pada UU Pilkada, Bapaslon/Paslon yang merasa tidak puas dengan putusan Bawaslu Provinsi atau Kabupaten/Kota mengenai sengketa proses ini, dapat mengajukan upaya hukum (banding) ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN), pun nantinya putusan PT TUN tersebut belum memberikan rasa keadilan, maka masih dibuka ruang untuk melakukan upaya hukum kasasi di Mahkamah Agung (MA) yang tentunya putusan tersebut merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada lagi upaya hukum).
Keterbatasan Waktu Dalam Penyelesaian Sengketa Proses Pilkada
Berbicara mengenai sengketa proses, UU Pilkada mengatur tenggat waktu yang ketat dalam penyelesaian sengketa Pilkada. Sengketa harus diselesaikan dalam kurun waktu yang relatif singkat. Penyelesaian sengketa di Bawaslu sendiri memakan waktu selama 12 (dua belas) hari kalender. Sementara untuk pengajuan keberatan di PT TUN sendiri membutuhkan waktu selama 15 (lima belas) hari kerja dengan catatan, gugatan atau keberatan yang di ajukan telah dilakukan upaya administratif di Bawaslu Provinsi atau Kabupaten/Kota, atau dengan kata lain, sudah melalui penyelesaian sengketa di Bawaslu terlebih dahulu.
Terhadap putusan PT TUN tersebut, dapat dilakukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung. MA sendiri memberikan putusan dalam jangka waktu 20 (dua puluh) hari kerja dan putusan tersebut bersifat final dan mengikat.
Keterbatasan waktu ini sering kali menimbulkan tantangan dalam hal penegakan keadilan. Proses verifikasi bukti, mendengarkan keterangan saksi, menganalisa fakta-fakta persidangan serta menyusun putusan memerlukan waktu lebih lama sering kali terabaikan karena adanya tenggat waktu yang ketat. Akibatnya, sengketa proses pilkada bisa jadi diselesaikan secara terburu-buru tanpa adanya pemeriksaan yang mendalam. Kondisi ini beresiko menghasilkan keputusan yang kurang komperhensif dan berpotensi mengabaikan prinsip keadilan substantif.
Belum lagi, Pilkada tahun ini dilaksanakan diseluruh daerah se Indonesia. Sehingganya potensi jumlah sengketa yang diajukan ke Bawaslu dan PT TUN sering kali membludak. Lembaga-lembaga ini diperhadapkan pada tekanan untuk menyelesaikan banyak kasus dalam waktu yang bersamaan, dan pada akhirnya dapat memengaruhi kualitas putusan.
Tindak Lanjut Putusan PT TUN atau Mahkamah Agung oleh KPUD
Terhadap tahapan penetapan pasangan calon tidak jarang terjadi sengketa. Calon yang tidak dinyatakan lolos oleh KPUD, sering kali mengajukan sengketa administratif hingga ke PT TUN maupun MA. Putusan PT TUN yang sudah inkrah atau putusan MA terkait penetapan pasangan calon itu bersifat final dan mengikat dan KPUD diwajibkan untuk menindaklanjutinya.
Namun yang menjadi masalah adalah ketika putusan PT TUN atau MA tersebut dikeluarkan dalam kurun waktu yang sangat dekat dengan hari pemungutan suara, yakni kurang dari 30 (tiga puluh) hari. Merujuk pada pasal 154 ayat (12) UU 10/2016 tentang Pilkada, bahwa KPUD (KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota) WAJIB menindaklanjuti putusan PT TUN atau putusan MA mengenai penetapan pasangan calon peserta pemilihan sepanjang tidak melewati paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum hari pemungutan suara.
Itu artinya, UU Pilkada membatasi KPUD dalam menindaklanjuti putusan lembaga peradilan tentang penetapan pasangan calon. Dalam kondisi ini, jika ada daerah yang sementara menangani sengketa proses, perlu melakukan kalkulasi waktu penanganan dan putusan agar berkesesuaian dengan batas waktu sebagaimana ketentuan pasal 154 ayat (12) UU 10/2016. Sehingga KPUD dan pihak yang merasa dirugikan tidak akan diperhadapkan dengan tantangan dalam melaksanakan putusan tersebut.
Alasan pembatasan waktu tersebut oleh UU Pilkada tentunya tidak lain karena adanya tahapan tekhnis seperti pencetakan ulang surat suara, distribusi logistik, dan sosialisasi kepada masyarakat sebagai pemilih tentang perubahan pasangan calon memerlukan waktu yang tidak sedikit. Disisi lain, putusan ini juga harus menghindari gangguan terhadap tahapan Pilkada lainnya serta menjaga legitimasi pemilihan. Dalam konteks ini, KPUD harus tertib administrasi dan taat kepada aturan perundang-undangan.
Kesimpulan
Keterbatasan waktu dalam penyelesaian sengketa Pilkada memiliki implikasi hukum. Pertama, hal ini berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum. Ketika sengketa proses tidak terselesaikan dengan baik, legitimasi hasil Pilkada bisa dipertanyakan, dan potensi konflik sosial di daerah meningkat. Kedua, keputusan yang terburu-buru seringkali tidak memuaskan semua pihak, sehingga membuka ruang bagi munculnya permasalahan baru dikemudian hari.
Hal ini tentunya merupakan tantangan serius dalam sistem hukum kepemiluan/pilkada di Indonesia. Penulis menilai, meskipun regulasi yang ketat bertujuan menjaga efisiensi dan kelancaran tahapan Pilkada, batasan waktu yang terlalu singkat sering kali mengorbankan kualitas penegakan keadilan.
Keterbatasan waktu yang dihadapi oleh lembaga-lembaga penyelesaian sengketa seperti Bawaslu, PT TUN dan MA menjadi faktor krusial yang mempengaruhi efektivitas serta kualitas penegakan keadilan. Oleh karena itu, Penulis berharap adanya reformasi terhadap regulasi Pilkada, terutama terkait dengan waktu penyelesaian sengketa, guna untuk mencapai keseimbangan antara efisiensi dan keadilan substantif.