(Lokal Currency Settlement)
Oleh : Fahrudin Olilingo (Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Gorontalo dan Sekjen Badan Kerjasama Utara-Utara).
Kontras.id, (Opini) – Dominasi dollar dalam transaksi internasional telah berdampak pada kesulitan negara-negara yang tertekan nilai mata uangnya untuk melakukan transaksi imternasional dengan berbagai negara. Misalnya perdagangan antara Indonesia dan China, Jepang dan beberapa negara lainnya menjadi terganggu apabila posisi rupiah mendapat tekanan dalam nilai tukarnya. Misalnya Indonesia saat ini kursnya dengan mata uang Amerika bertengger pada angka $ 1 =Â Rp. 14.200. Pergerakan kurs ini dari waktu ke waktu selalu beranjak naik ke arah depresiasi rupiah yang semakin besar yang bila tidak terkendali akan menjadi $ 1 sama dengan Rp. 15.000 bahkan Rp. 16.000.
Tekanan terhadap rupiah tersebut berakibat pada terganggunya transaksi perdagangan pada beberapa negara. Berdasarkan hal tersebut muncullah gagasan untuk mengembangkan transaksi lokal dalam transaksi internasional miisalnya antara Indonesia dan China telah disepakati menggunakan mata uang lokal kedua negara yaitu Rupah dan Yuan.
Kesepakatan tersebut tertuang dalam kesepakatan antara Bank Indonesia {BI} dan Bank Sentral China atau People’s Bank Of China ( PoBC ) yang secara resmi memulai implementasi kerjasama penyelesaian transaksi bilateral dengan mata uang lokal atau Local Currency Settlement (LCS) pada hari Senin, 6 September 2021.
Menurut Gubernur Bank Indonesia Ferry Warjiyo (2021) penggunaan uang lokal dalam transaksi dagang maupun investasi akan memperkuat mata uang lokal dalam transaksi internasional. Manfaatnya dapat dilihat dalam penguatan uang lokal sehingga memudahkan dalam melakukan transaksi juga memperkecil tekanan uang lokal dalam lalu lintas keuangan internasional dalam penggunaan dollar Amerika. Sentimen negatif terhadap dollar karena penguatan dollar tidak saja diakibatkan oleh fungsinya sebagai alat pembayaran internasional, tapi terlebih karena fungsinya sudah bertambah menjadi suatu komoditi yang diperdagangkan di pasar Valuta Asing.
Menurut Faisal Basri transaksi perdagangan dollar mencapai triliunan dollar per hari, suatu angka yang sangat fantasis dimana volume perdagangan uang telah melebihi volume perdagangan barang dan jasa. Gejala seperti ini menunjukkan kecenderungan perilaku pasar uang global yang makin liar. Dalam kondisi demikian, sehebat-hebatnya fundamental ekonomi dan sebanyak-banyaknya cadangan devisa yang dimiliki tidak akan berarti jika perilaku pasar uang tidak terkendali, dan intervensi pasar ibarat membuang garam di laut.
Peringatan Faisal Basri tersebut terbukti ketika tahun 1998 situasi tidak terkendali rupiah anjlok terus dari Rp. 4.850.- per dollar tahun 1997 hingga mencapai 17.000 rupiah per dollar AS pada 22 Januari 1988 dan hal ini memperuncing situasi politik waktu itu hingga akhirnya Presiden Soeharto mundur digantikan oleh Prof. Dr. Ing. Bj. Habibie sebagai Presiden ke III Indonesia tanggal 21 Mei 1998.
Gunjang-ganjing moneter waktu itu yang diperparah dengan situasi politik yang kisruh mengakibatkan terjadinya rush yaitu para nasabah ramai-ramai menarik simpanannya dari bank hingga perbankan banyak yang kekurangan likwiditas dan mengalami kebangkrutan, antrian perusahaan yang melakukan PHK terhadap karyawannya terjadi dimana-mana, hingga pelarian modal ke luar negeri mencapai $ 20 milyar AS.
Skema LCS antara Indonesia dan China bukanlah hal yang baru kareana sebelumnya  pada tanggal 23 Desember 2016 Indonesia, Malaysia, Thailand melakukan penandatangan MoU Kerjasama 3 negara dalam penggunaan uang lokal masing-masing negara dalam transaksi keuangan (Hadi Nur Muta’ali). Demikian juga Indonesia dan Jepang telah menandatangani MoU penggunaan LCS dalam transaksi bilateral kedua negara sejak 5 Desember 2019 dan resmi mulai diimplementasikan pada tanggal 31 Agustus 2020.
Dalam pelaksanaannya masing-masing negara yang bekerjasama menyiapkan bank sebagai pelaksana yang disebut Appointed Cross Currency Dealer (ACCD). Adapun bank-bank di Indonesia yang telah ditunjuk sebagai ACCD adalah MUFG Bank, Ltd Jakarta Branh, PT. Bank BTPN, Tbk, PT. Bank Central Asia Tbk, PT. Bank Mandiri (Persero), Tbk, PT. Bank Mizuho Indonesia, PT. Bank Negara Indonesia (Persero), Tbk, PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. Dipihak Jepang juga telah ditunjuk beberapa bank yang menjadi pelaksana sebagai ACCD.
Hasil dari kesepakatan bilateral tersebut telah berdampak pada kemudahan transaksi antara kedua belah pihak tidak saja pada perdagangan, investasi juga pada Remitansi yaitu transfer uang oleh para pekerja baik di negara mitra maupun Indonesia dalam mata uang bilateral. Demikian juga dalam Hedging yaitu jaminan pihak ketiga atas transaksi perdagangan internasional biayanya menjadi lebih murah karena tidak lagi menggunakan dollar Amerika.
Menurut Kepala Departemen Internasional Bank Indonesia Doddy Zulverdy (2021) semenjak dibuka skema LCS telah berdampak positip dalam perdagangan dan investasi antara Indonesia dan mitranya melalui skema LCS. Hal tersebut dapat dilihat pada volume transaksi yang dari waktu ke waktu mengalami peningkatan secara siknifikan juga pelaku usaha yang terlibat dalam skema tersebut kian bertambah.
Tentang perluasan skema ini dengan China dapat diapresiasi secara positip karena selama ini China, Amerika dan Jepang masih menjadi tujuan favorit ekspor Indonesia (Achmad Aris, 2019). Ke depan perluasan skema LCS dapat dilakukan pada negara-negara mitra dagang lainnya tidak hanya Jepang, Malaysia, Thailand dan China.