Oleh : Zulkarnain Musada (Mahasiswa Pascasarjana Universitas Bosowa).
Kontras.id (Opini) – Kritik sosial merupakan tradisi yang sesungguhnya telah lama ada pada kehidupan masyarakat. Kehadirannya setua perkembangan masyarakat itu sendiri. Tidak mungkin ada perubahan sosial tanpa kritik dan perubahan sosial itu sendiri pada dasarnya merupakan manifestasi dari pembangunan. Persoalannya adalah cara menyampaikan, saat yang tepat, kualitas, serta nilai kritik substansif yang dimuarakan untuk sebesar-besarnya pencerahan dan kemartabatan masyarakat.
Kritik sosial tidak hanya dalam bentuk langsung secara lisan saling berhadapan dengan pihak yang dikritik, tetapi banyak sarana dan medianya. Medium kritik dapat disalurkan melalui berbagai kegiatan, seperti berkesenian, kesusastraan, penulisan artikel dan cerita pendek. Taufik Ismail, WS Rendra, sampai Wiji Thukul merupakan deretan sosok maestro kritik sosial melalui kegiatan berkesenian terutama puisi. Di lingkungan masyarakat Gorontalo di kenal “Tanggomo”, corong kritik “satire” dengan berpuisi, berpantun dalam bahasa daerah yang lantunan diksi-diksinya menukik dan membuat penontonnya tersenyum sipu.
Lalu bagaimana kritik sosial melalui dunia maya atau media sosial entah itu Facebook, Twitter, Instagram, YouTube dan yang lagi tren saat ini yakni podcast.
Keberadaan netizen (internet citizen) atau masyarakat pengguna internet semakin diakui. Bahkan banyak kebijakan di negeri ini bergantung pada respon dari netizen. Bagaimana tidak, kepala negara juga menggunakan media sosial untuk menyampaikan komunikasi politiknya kepada publik. Sementara itu ditingkat daerah, banyak juga patron lembaga eksekutif dan legislatif hampir setiap hari juga menggunakan media sosialnya.
Bekerja dalam sektor apapun, jangan abaikan netizen. Dalam bisnis, netizen adalah konsumen. Dalam politik, netizen adalah konstituen.
Menarik jika kita menyimak style penggunaan media sosial “podcast” yang belakangan ini dilakukan oleh Hamzah Sidik. Dengan atau tanpa melakukan podcast, kebutuhan Hamzah Sidik sebenarnya adalah mempertemukan gagasan yang ditawarkannya, entah yang sedang dan akan dilakukannya dengan gagasan yang diusung oleh rakyat secara personal maupun kelompok-kelompok sosial masyarakat (meeting in mind).
Seorang pemikir bilang, parlemen yang berdiri menandai politik yang tak punya lagi berahi. Baudrillard menyebut demokrasi sebagai “menopause masyarakat barat”. Namun, tiap politik pascarevolusi mengandung sikap jera pada gairah; kita tak bisa mencintai yang “sana” habis-habisan, tetapi juga tak bisa memerangi terus-terusan.
Tentu tidak semua orang akan setuju dengan ide ini, dan tak mustahil akan menuding sebagai tindakan “sok mengatur, sok pintar dan mencari efek keberkahan media sosial”. Namun siapa saja tak bisa menolak fakta bahwa Hamzah Sidik adalah sosok yang “bising dan nyaring” di depan mikrophone ruang rapat DPRD Gorontalo Utara.
Podcast yang dipilihnya juga merupakan medium pembantu bagi birokrasi ataupun sesama kawan Aleg yang tuna argumentasi. Kalaupun perlu, birokrasi dan kawan sesama Aleg bisa diundang untuk mengisi sesi pembahasan pada podcast. Bahkan, podcast ini menjadi saluran penetrasi bagi pemberitaan yang terakumulasi di linimasa media sosial.
Suka atau tidak, demokrasi memang tak terelakkan, tetapi juga sarat persoalan. Itu sebabnya demokrasi mesti punya ruang untuk saling dibicarakan. Hanya saja, jangan terlalu gaduh, karena bisa-bisa demokrasi dianggap sekedar lelucon. Terlebih lagi jika kita sendiri, para penganjurnya tak mampu memberi teladan.
Selain harus terus menebalkan ruang diskursus media sosial, Hamzah Sidik juga perlu “merayu” para aktivis-aktivis Gorut yang hobinya berdiskusi di kios kopi agar melebarkan sayap pemikiran di corong poadcast. Ya, barangkali jika tak berlebihan, medium podcast semacam Champions League. Semua tokoh-tokoh “ter-vocal” di liga Italia, La Liga, Premier league, Bundesliga dan lainnya merekatkan logika dan ideanya melalui podcast.
Podcast akan berubah menjadi jembatan “linguistik forensik” untuk menguji sekaligus mendalami kritik, sanggahan, juga ide bantahan. Ujungnya, podcast merupakan sarana silaturahmi “blusukan” jabat tangan dan pikiran.
Jika perjumpaan podcast itu terjadi, maka diskursus akan menjadi jangkar “kekitaan” dan armada “kekinian” demi pembangunan Gorut. Gorut akan terhindar dari potret sosial-demokrasi saling melapor, menuju palung kebersamaan saling merangkul.
Idealnya, Gorut membutuhkan dukungan untuk mengeksekusi dan mengawal program, melancarkan komunikasi terhadap warga agar program yang dicanangkan terhubung baik di telinga warganya. Sebuah perjumpaan tokoh publik yang tidak hanya membentuk iklim sosial, politik, ekonomi dan demokrasi, tetapi juga melumasi kinerja Pemda Gorut biar lebih cepat dan tepat.
Tentu, pendekatan diskursus podcast sebagai hal yang baru di tengah-tengah masyarakat Gorut. Namun, inilah skema untuk memadukan corong-corong pemikiran tentang bagaimana kita tidak menjual “lidah”, tapi memproduksi “ide” yang nantinya akan didistribusikan dalam pembangunan. Meski, perbedaan diametral pasti akan tercipta dalam serangkaian debat, tapi diskursus yang beranjak dari kebijaksanaan akan memperlihatkan diskursus yang terhormat dalam menghela lokomotif perubahan.
Kini, kursi dan meja merah sudah ada. Para tokoh-tokoh aktivis, akademisi, birokrasi dan politisi tinggal mendudukinya. Kita jangan lagi terjebak oleh simplifikasi yang melekatkan makna demokrasi “benar” di kubu saudara, dan memandang “salah” kubu yang berkuasa. Berhentilah sejenak dari diskursus kios kopi, karena telinga dan mata warga tak cukup sampai disana. Setidaknya, dengarkan pemikiran dari kelompok yang berlainan, barangkali lewat mereka kebijakan bisa menjadi seimbang.
Sebagai Wakil Ketua DPRD, Hamzah Sidik telah menyederhanakan “Pokir” dalam gaung yang elegan. Sebuah pemantik agar Gorut tidak sesat pikir. Merawat kritikan hanyalah satu sisi mata uang, sedangkan menjalin diskursus adalah sisi lainnya. Keduanya tidak untuk dipertukarkan, di atas tinta emas demokrasi kerakyatan.
Gorontalo Utara adalah milik bersama, tapi kau tak usah bertanya bersama itu siapa saja.(*).