Kontras.id, (Sulsel) – Serikat Buruh Industri Pertambangan dan Energi (SBIPE) Kawasan Industri Bantaeng (KIBA) mengecam kebijakan sepihak PT Huadi Nickel Alloy Indonesia yang merumahkan 350 pekerjanya tanpa prosedur resmi. Kebijakan itu mulai diberlakukan sejak 1 Juni 2025 dan dinilai melanggar aturan ketenagakerjaan.
Menanggapi hal ini, ratusan anggota SBIPE turun ke jalan menggelar aksi protes di gerbang utama Kawasan Industri Bantaeng. Mereka menuntut agar perusahaan membatalkan keputusan tersebut.
SBIPE menyebut, perusahaan tidak pernah menggelar perundingan bipartit, bahkan tidak memberikan kepastian terkait hak-hak pekerja selama masa nonaktif, termasuk masalah pengupahan.
“Istilah ‘dirumahkan’ yang digunakan PT Huadi tidak memiliki landasan hukum dalam regulasi ketenagakerjaan. Ini bentuk manipulasi untuk menghindari kewajiban membayar upah,” ujar Junaid Judda, Ketua SBIPE KIBA, Kamis 03/07/2025.
Pasal 93 ayat (2) Undang-Undang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa pekerja tetap berhak atas gaji penuh selama tidak dapat bekerja karena bukan kesalahan mereka. Hingga awal Juli, PT Huadi belum memberikan kejelasan soal hal tersebut.
Rekam Jejak Panjang Perselisihan
Perseteruan antara PT Huadi dan para pekerja bukan kali ini saja terjadi. Sejak akhir 2024, perusahaan tambang nikel yang berbasis di Tiongkok itu disebut telah berulang kali melakukan PHK tanpa prosedur yang sesuai, bahkan tidak menuntaskan hak normatif karyawan.
SBIPE juga mengungkapkan bahwa pekerja dipaksa lembur selama 4 jam setiap hari selama 20 hari dalam sebulan, namun upah lembur tidak dibayarkan secara adil. Bahkan hingga pertengahan 2025, perusahaan masih menggaji di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP) Sulsel.
Puncaknya terjadi pada 25 Juni 2025. Saat itu, manajemen mengadakan rapat tertutup bersama sejumlah pemimpin unit dari Tahap Satu (T1) dan Tahap Dua (T2) di Pos 1. Pertemuan itu dihadiri oleh Manager HRD PT Huadi, Andi Adrianti Latippa; HR Yatai T1, Sunardilla; dan HR Wuzhou T2, Rey.
Lima hari setelahnya, pihak manajemen melalui para pemimpin unit kerja menyampaikan bahwa 350 buruh tak diizinkan bekerja selama tiga bulan mulai 1 Juli. Tidak ada surat resmi, tidak ada perjanjian, bahkan tanpa jaminan gaji.
“Ini bentuk pengambilan keputusan yang cacat hukum. Tak hanya melanggar etika hubungan industrial, tapi juga secara terang-terangan bertentangan dengan undang-undang,” tegas Junaid.
SBIPE dan FSPBI Layangkan 5 Tuntutan
Menanggapi hal tersebut, SBIPE dan Federasi Serikat Pekerja BUMN (FSPBI) menyuarakan lima poin tuntutan sebagai berikut:
1). Cabut keputusan merumahkan buruh dan segera bayarkan hak-hak 350 buruh T2.
2). Bayar semua kekurangan upah lembur yang belum dipenuhi oleh PT Huadi.
3). Terapkan UMP 2025 dan lunasi kekurangan upah dari Januari–Juni.
4). Dinas Ketenagakerjaan tingkat kabupaten dan provinsi harus turun tangan menyelidiki kasus ini secara terbuka dan tegas.
5). DPRD Kabupaten Bantaeng diminta membentuk Pansus untuk menyelidiki praktik pelanggaran ketenagakerjaan.
Dukungan dari Morowali
Solidaritas juga datang dari SBIPE IMIP Morowali. Ketua Umumnya, Henry, mengecam tindakan PT Huadi dan meminta pemerintah pusat ikut turun tangan menyelesaikan masalah ini.
“Kami mendesak agar perusahaan mencabut kebijakan merumahkan buruh secara sepihak dan membuka ruang dialog dengan serikat buruh,” ujar Henry dalam pernyataan resminya.
SBIPE menyatakan siap mengawal proses hukum sampai tuntas dan mengajak seluruh elemen masyarakat untuk bersatu dalam perjuangan melindungi hak buruh dari tekanan perusahaan asing yang berinvestasi di sektor industri berat.