Kontras.id, (Gorontalo) – Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak tahun 2024 memasuki tahapan verifikasi faktual (Verfak) ke dua untuk calon perseorangan.
Berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) nomor 2 tahun 2024 tentang Tahapan dan Jadwal Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati Serta Walikota dan Wakil Walikota tahun 2024, tahapan verifikasi faktual akan berakhir tanggal 10 Agustus 2024.
Divisi Advokasi Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Provinsi Gorontalo, Ikrar Setiawan Akasse menyampaikan bahwa selama tahapan berlangsung, kiranya setiap penyelenggara Pemilu baik Bawaslu maupun KPU kiranya harus mengantisipasi sejumlah potensi pelanggaran yang mungkin akan terjadi.
Ikrar mengatakan bahwa penyelenggara Pemilu harus waspada terhadap pelanggaran-pelanggaran yang mungkin bisa terjadi dalam tahapan Verfak dukungan calon perseorangan.
“Penyelenggara Pemilu baik Bawaslu maupun KPU harus lebih berhati-hati dalam tahapan verfak ini. Sekarang sudah masuk ketahap verifikasi faktual ke dua, tidak akan lama lagi akan masuk ke tahap rekapitulasi tingkat kecamatan,” kata Ikrar melalui pres rilis yang diterima Kontras.id, Rabu 07/08/2024.
Ikrar menjelaskan bahwa ada beberapa potensi pelanggaran yang mungkin bisa terjadi pada tahapan verfak, diantaranya adalah Panitia Pemungutan Suara (PPS) tidak melakukan verifikasi faktual dilapangan. Hal ini, kata dia, tentunya akan ada sanksi pidana yang dikenakan apabila itu terjadi.
“PPS yang terbukti tidak melakukan verifikasi dilapangan, bisa dikenakan pasal 185B dan pasal 186 UU nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada, dimana sanksi pidana yang paling singkat selama 36 bulan penjara dan denda paling sedikit Rp. 36.000.000,” ucap Ikrar.
Ikrar menyampaikan bahwa potensi pelanggaran berikutnya adalah pendukung yang tidak pernah memberikan dukungan dan mengisi pernyataan tidak mendukung salah satu pasangan calon.
“Hal ini bisa saja mengindikasikan dugaan pelanggaran, dimana ada kemungkinan paslon atau timnya yang sengaja memalsukan dokumen persyaratan dukungan calon perseorangan,” kata Ikrar.
“Selanjutnya ada potensi dugaan pelanggaran yakni pendukung yang berstatus sebagai penyelenggara pemilu,” sambung Ikrar.
Ikrar mengungkapkan, hal tersebut pernah terjadi di Gorontalo pada pemilihan-pemilihan sebelumnya. Pada saat tahapan Verfak, kata dia, ternyata ditemukan ada data penyelenggara Pemilu yang masuk sebagai pendukung salah satu pasangan calon perseorangan, walaupun setelah ditelusuri ternyata yang bersangkutan tidak pernah memberikan dokumen untuk mendukung salah satu paslon.
“Terlepas dari itu semua, kalaupun hal itu sampai benar terjadi, maka oknum penyelenggara pemilu tersebut bisa dikenakan sanksi etik karena sudah berlaku tidak netral atau menjadi partisan”, ujar Ikrar.
Ikrar menuturkan, dugaan pelanggaran yang bisa terjadi selanjutnya yakni adanya pendukung yang berstatus ASN, anggota TNI/Polri, atau Kepala Desa. Jika benar hal itu terjadi, maka bisa memunculkan permasalahan hukum karena bisa melanggar ketentuan yang mengatur tentang netralitas ASN, TNI Polri dan Kepala Desa.
“Pada dasarnya, tujuan dilaksanakannya verifikasi faktual yakni untuk mengkroscek tentang kebenaran dan kevalidan data yang dimasukan oleh setiap pasangan calon perseorangan, dan teknisnya verfak ini menggunakan metode sensus dengan bertemu langsung setiap orang yang mendukung”, tegas Ikrar.
“Tahapan Verfak perseorangan ini pernah memakan korban penyelenggara pemilu pada pemilihan kepala daerah tahun 2017 silam, dimana ada salah satu oknum PPS di daerah Boalemo pernah dijatuhi sanksi pidana karena melakukan pelanggaran pada saat verifikasi faktual. Mudah-mudahan preseden buruk ini tidak akan pernah terjadi lagi pada pemilihan tahun ini dan yang akan datang” tandas Ikrar.
Penulis Thoger