Oleh: Noval Sufriyanto Talani (Pengajar di Jurusan Komunikasi UNG, Peneliti Media dan Komunikasi Visual).
Kontras.id, (Opini) – Kata “hutu” (penis) menjadi viral di Gorontalo setelah akun gtlo.karlota (Gorontalo Karlota/GK) membagikannya di media sosial. GK menggunakan kata “hutu” untuk memplesetkan kata “hukum” dalam gelar akademik Sarjana Hukum (SH) menjadi Sarjana Hutu.
Dalam akun Instagram GK, kata “hutu” itu muncul di slide ketiga dari enam slide informasi tentang kasus kriminal seorang perempuan berinisial NP. Informasi kasus NP diunggah akun GK pada 24 Juli 2024 dalam bentuk gambar (flyer) sebanyak enam slide.
Unggahan ini telah direspons oleh netizen melalui fitur like sebanyak 9.674 dan komentar sebanyak 1.644 (27/7/2024, 10.15 wita). Artinya, unggahan tersebut telah menarik perhatian netizen dengan beragam respons.
Kata “hutu” yang digunakan GK itu sebenarnya bagian integral dari diskursus kasus kriminal penggelapan laptop. Sebagai sebuah diskursus, tentunya semua pesan yang dibagikan GK bisa dilihat dari berbagai perspektif termasuk komunikasi.
Dalam tulisan ini akan dibahas kata “hutu” untuk memberikan perspektif lain dari efek kata tersebut. Sebab dari sisi linguistik Jefriyanto Saud telah “menghakimi” bahwa kata “hutu” itu kasar dan menghina serta berpotensi melanggar hukum (go-pena.id, 25/7/2024). Bagaimana kata “hutu” itu dilihat dari perspektif komunikasi?
Dimensi Komunikasi
Ibarat mata uang, bahasa dan komunikasi adalah satu kesatuan. Sesuatu dikomunikasikan menggunakan bahasa dan bahasa akan berfungsi dengan baik dalam komunikasi, baik secara tertulis maupun terucap.
Kata “hutu” yang kontroversial itu dalam komunikasi adalah pesan yang dapat ditinjau dari dimensi komunikasi. Dimensi komunikasi terdiri dari dimensi isi, dimensi relasi, dan dimensi konteks (Mulyana, 2009). Menurut penulis ada satu dimensi lagi yang perlu ditambahkan, yakni dimensi budaya atau kultural.
Dari dimensi isi, kata “hutu” dalam bahasa Gorontalo berarti penis (alat kelamin laki-laki). Penis menjadi makna harfiah dari kata “hutu”. Merujuk Roland Barthes (dalam Piliang, 2014), makna harfiah dari sebuah tanda berasal dari tanda denotasi ditingkatan pertama sistem pertandaan. Ditingkatan kedua atau tanda konotasi, banyak makna potensial (Barker, 2011) yang dapat dilekatkan pada kata “hutu”, apalagi jika dikaitkan dengan dimensi budaya.
Misalnya, kata “hutu” itu bisa bermakna laki-laki, identitas gender, atau kejantanan. Apabila makna-makna potensial itu digunakan mengartikan plesetan Sarjana Hutu, maka padanannya menjadi sarjana laki-laki, sarjana identitas gender, atau sarjana kejantanan.
Secara logika bahasa, gelar semacam itu tidak lazim dan secara aturan menyimpang dari gelar akademik yang diatur dalam Permendikbud Ristek No. 6 Tahun 2022.
Sebuah pesan tidak hanya berdimensi isi, tetapi juga berdimensi relasi. Dibeberapa pesan seperti “keke hutu”, “te hutu mola boyito”, “malontho utonu mayi yi’o hutu” tidak bisa diartikan secara harfiah “jangan penis”, “si penis sana itu”, “dari mana saja kamu penis”. Kata “hutu” di sini hanya sebagai kiasan dan menunjukkan relasi antara partisipan komunikasi (sumber dan penerima pesan) dalam sebuah tindakan komunikasi. Pada contoh pertama dan ketiga kata “hutu” menunjukkan identitas lawan bicara seorang laki-laki. Berbeda dengan contoh kedua yang menunjukkan identitas orang yang dibicarakan itu adalah seorang laki-laki. Pemakaian kata “hutu” dalam komunikasi tersebut menunjukkan kedekatan atau keintiman di antara partisipan komunikasi. Biasanya terjadi pada orang yang sudah saling kenal dan dekat secara personal.
GK menggunakan kata “hutu” sebagai pesan dalam tindakan komunikasi termediasi. Mengacu pada model komunikasi Lasswell, GK menjadi sumber (who/source), “hutu” adalah bagian dari pesan kasus kriminal NP (says what/message), media sosial sebagai saluran (in which channel/channel), netizen menjadi penerima pesan (to whom/receiver), dan kontroversi kata “hutu” adalah efek yang ditimbulkan (with what effect/effect). Sebagai pesan kata “hutu” merepresentasikan siapa yang sedang dibicarakan dalam pesan tersebut. Dengan kata lain, GK sedang membicarakan (karlota) kasus kriminal NP yang melibatkan seorang sarjana.
Kasus kriminal NP menjadi konteks munculnya kata “hutu” dalam pesan yang dibagikan akun GK. Konteks ini yang mengikat bagaimana makna dipertukarkan dalam komunikasi termediasi seperti halnya di media sosial. Untuk lebih menguatkan konteks, melihatnya dari dimensi budaya akan dapat menjelaskannya lebih mendalam. Latar budaya Gorontalo menjadi jangkar dipertukarkannya kata “hutu” itu.
Kata “hutu” dalam budaya Gorontalo banyak digunakan. Itupun bukan sekedar menunjukkan alat kelamin. Bahkan bisa menunjukkan kasih sayang yang mendalam. Kalimat “uti liyo monu” (anak (laki-laki) wangi), “hutu liyo monu” (penisnya wangi), “monduhu/moondo hutu” (melihat penis) menjadi contoh bagaimana kata “hutu” itu digunakan. Abdul Wahab Thomas menjelaskan bahwa kalimat “uti liyo monu” dan “hutu liyo monu” digunakan sebagai ungkapan kasih sayang kepada anak laki-laki (balita). Kalimat-kalimat itu tidak bisa diartikan secara harfiah, ini bahasa kiasan. Kalimat “uti liyo monu” digunakan dalam konteks normatif dan kalimat “hutu liyo monu” dalam konteks membujuk anak laki-laki yang rewel atau dianggap nakal (Wawancara, 26/7/2024).
Dalam budaya Gorontalo “monduhu” atau “sangat genit” termasuk salah satu sifat buruk yang harus dihilangkan dari diri seorang anak perempuan selain hutatingolo (suka mengumpat), kureketolo (genit dan usil), wetettolo (cerewet dan usil), neneolo (genit), bulabalo (bebal, asal-asalan), moluwamo (jinak/gampangan), ungkap Yowan Tamu (Wawancara, 26/7/2024).
Kata “hutu” dalam akronim “monduhu” (moondo hutu) tidak berarti harfiah “melihat penis”, tetapi lebih kepada representasi sifat buruk perempuan dalam hal memandang lawan jenisnya. Itu sebabnya dalam percakapan sehari-hari penggunaan istilah “monduhu” lebih kepada mengingatkan lawan bicara (perempuan) seperti “Is monduhu da’a yi’o ti/is monduhu skali ngana ini” (Ih genit sekali kamu ini).
Berdasarkan dimensi komunikasi kata “hutu” tidak bisa secara prematur disimpulkan kasar, menghina, apalagi melanggar hukum. Kata ini tidak hanya sebagai elemen linguistik, tetapi juga pesan dari serangkaian informasi kasus kriminal NP yang dibagikan GK di media sosial. Ada rambu lain yang dapat digunakan untuk melihatnya secara berbeda, yaitu etika komunikasi.
Soal Etika Komunikasi
Berkomunikasi bukan sekedar menyampaikan pesan kepada orang lain dan pada taraf tertentu memengaruhi perilakunya. Akan tetapi, setiap tindakan komunikasi diikat oleh norma, nilai maupun standar perilaku dalam lingkup sosial. Apabila merujuk pada contoh-contoh di atas, kata “hutu” digunakan dalam konteks komunikasi interpersonal, bukan publik. Hal ini mengindikasikan sebuah sensitivitas yang terkandung dibalik kata “hutu” itu sendiri.
Secara norma dan nilai penggunaan kata “hutu” di ruang publik tidaklah pantas. Ini bisa merendahkan martabat orang yang dituju. Apalagi dipublikasikan lewat media sosial yang ruang publiknya tidak terbatas. Siapapun pengguna dari media sosial tersebut dapat mengaksesnya. Pada titik ini kata “hutu” yang dibagikan GK di media sosialnya bermasalah secara etik. Disadari atau tidak kata itu bisa diakses oleh siapapun dan secara spesifik langsung ternotifikasi ke 24.1K pengikut (followers) GK.
Para audiens mendapat suguhan informasi yang tidak pantas secara publik. Belum lagi penyematan kata “hutu” untuk memplesetkan kata “hukum” pada sebuah gelar kesarjanaan. Tindakan ini merupakan pelecehan dan penghinaan terhadap para intelektual hukum. Sebab secara regulatif dan sosial gelar SH itu singkatan dari Sarjana Hukum bukan Sarjana Hutu. Banyak orang yang memiliki gelar tersebut bukan hanya orang yang ditengarai memeras NP. Di samping itu, gelar kesarjanaan hukum ini berjenjang hingga doktoral. Sehingga pesan GK yang tidak bijak itu bisa melecehkan dan menghina banyak orang. Bijak dalam bermedia sosial itu keren.