Kontras.id, (Gorontalo) – Tolak sejumlah Rancangan Undang-undang (RUU), Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) bersama Paguyuban di Gorontalo gelar aksi damai di Bundaran Saronde, Kota Gorontalo, Kamis 27/06/2024.
Presiden BEM Universitas Gorontalo (UG), Harun Alulu menegaskan bahwa RUU yang mendapatkan penolakan dari mahasiswa di Gorontalo diantaranya, RUU Penyiaran, Polri, TNI dan Peraturan Pemerintah (PP) Tentang Penyelenggaraan TAPERA.
“Pentingnya gerakan penolakan RUU TNI, Polri dan RUU penyiaran serta Tapera, sebab kita tidak mau semangat reformasi 1998 dinodai oleh kepentingan elit,” tegas Harun kepada Kontras.id.
Harun menyampaikan, sejumlah pasal yang ada di RUU Polri akan menjadikan institusi Polri sebagai lembaga penegakan hukum tertinggi. Contoh, kata Harun, Pasal 16 ayat 1 huruf q yang memperkenankan Polri untuk melakukan pengamanan, pembinaan dan pengawasan terhadap ruang siber.
“Kewenangan tersebut disertai dengan penindakan, pemblokiran atau pemutusan dan memperlambat akses ruang siber untuk tujuan keamanan dalam negeri. RUU Polri akan memperluas kewenangan intelkam sampai melebihi lembaga-lembaga intelijen lain. Hal ini akan tercapai melalui sisipan Pasal 16A yang menjelaskan bahwa Polri berwenang untuk melakukan penggalangan intelijen,” jelas Harun.
Harun mengungkapkan, banyak pasal-pasal di RUU yang akan membuat Polri semakin tinggi dari lembaga penegak hukum lainnya. Seperti Pasal 16B yang mengatur perluasan terhadap kewenangan Intelkam dengan memperbolehkan Intelkam Polri melakukan penangkalan dan pencegahan terhadap kegiatan tertentu guna mengamankan kepentingan nasional.
“Tidak ada definisi dan penjelasan mengenai istilah kepentingan Nasional yang dimaksud. Pasal 14 ayat 1 huruf o memberikan Polri kewenangan untuk melakukan penyadapan. Kewenangan tersebut akan menimbulkan disparitas dengan kewenangan serupa yang dimiliki oleh lembaga penegak hukum lainnya seperti KPK. Pasal 16 ayat 1 huruf n revisi UU Kepolisian yang berpotensi membuat KPK mengangkat penyidiknya perlu mendapat rekomendasi dari Kepolisian,” kata Harun.
“Pasal 16 ayat 1 huruf p revisi UU Kepolisian menerangkan bahwa Kepolisian menerima hasil penyelidikan atau penyidikan dari penyidik pegawai negeri sipil dan atau penyidik lainnya untuk dibuatkan surat pengantar sebagai syarat sah kelengkapan berkas perkara yang akan diserahkan ke penuntut umum. Rancangan perluasan kewenangan ini akan menimbulkan permasalahan, sebab Polri menjadi lembaga penegakan hukum tertinggi dalam bidang penyidikan,” terang Harun.
Harun menyampaikan, untuk RUU TNI Pasal 7 ayat 2 UU 34/2004 yang mengatur tentang Operasi Militer Selain Perang (OMSP) belum memiliki peraturan turunan yang lebih detail dan terinci seperti batas ruang lingkup, waktu pelaksanaan, akuntabilitas, dan transparansi.
“RUU mengubah diksi dari membantu menjadi mendukung. Isu yang ditambahkan dalam OMSP juga tidak terkait langsung dengan isu pertahanan sebagaimana tugas dan fungsi TNI seperti masalah narkotika, sampai ketentuan bersifat karet yang berbunyi melaksanakan tugas lain yang ditetapkan oleh Presiden guna mendukung pembangunan nasional,” jelas Harun.
Harun menuturkan, perluasan penempatan TNI dalam jabatan sipil pada beberapa lembaga pemerintahan seperti Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Staf Presiden, BNPB merupakan pasal karet yang ditengarai akan bermasalah ke depannya.
“RUU ini juga mengatur TNI dapat mengajukan langsung anggaran kepada Kementerian Keuangan tanpa lebih dulu melalui Kementerian Pertahanan. Ini juga bermasalah menurut kami,” ucap Harun.
Sementara untuk RUU Penyiaran, Harun menilai, Pasal 8A huruf q dan Pasal 42 ayat 2 yang intinya memberi kewenangan kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk menangani sengketa pers. Padahal selama ini sengketa pers sudah sudah sangat baik dan tepat ditangani Dewan Pers (DP).
“RUU juga membatasi kewenangan KPI dalam mengatur tata kelola penyiaran. Misalnya, ada kewajiban bagi KPI untuk berkonsultasi dengan DPR. ketentuan ini rawan digunakan anggota DPR untuk mengintervensi independensi KPI. Pasal 50B ayat 2 tentang larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi dan konten yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, pencemaran nama baik, penodaan agama, kekerasan, dan radikalisme terorisme. RUU ini bertujuan mengebiri kebebasan pers,” ucap Harun.
Terakhir, kata Harun, terkait PP nomor 21 tahun 2024 tentang perubahan atas PP nomor 25 tahun 2020 tentang penyelenggaraan Tapera. Menurut Harun, Tapera tidak memberikan kepastian pekerja untuk memiliki rumah.
“Pemerintah juga melepaskan tanggung jawab dengan tidak menyisihkan anggaran untuk Tapera. Tapera kami anggap memberikan atau membebani biaya hidup di tengah daya beli masyarakat yang turun 30 persen dan upah minimum yang sangat rendah akibat UU Cipta Kerja,” kata Harun.
“Kebijakan Tapera rawan penyelewengan, sebab tak ada preseden kebijakan sosial. Dananya dari iuran masyarakat dan pemerintah tidak menggiur, tetapi penyelenggaranya adalah pemerintah. Tabungan ini sifatnya memaksa. Ketidakjelasan dan kerumitan pencairan dana, apalagi untuk buruh swasta dan masyarakat umum. Terutama buruh kontrak dan outsourcing, potensi terjadinya PHK sangat tinggi,” tandas Harun.
Penulis Thoger