Example floating
Example floating
Opini

Mengekang Kesenangan di Bulan Ramadan

×

Mengekang Kesenangan di Bulan Ramadan

Sebarkan artikel ini
Funco Tanipu
Dr. Funco Tanipu S.T., M.A., Dosen Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Gorontalo,(Foto Istimewa).

Oleh : Funco Tanipu (Founder The Gorontalo Institute).

Kontras.id, (Opini) – Apa dan dimana batas “senang”?. Apakah senang itu harus ditafsirkan ketika mendapat jabatan, harta, momentum tertentu atau hal-hal materiil lainnya? Ataukah senang bagi manusia adalah sesuatu tanpa batas?

Sejauh dan selama kita hidup, senang selalu ada batas. Hanya dengan ada batas, “sesuatu” menjadi lebih seimbang. Sebab, jika senang tidak dibatasi, maka akan memasuki atau mengambil porsi senang orang lain.

Kadar “senang” untuk setiap orang memang berbeda, namun setiap manusia selalu butuh senang, kesenangan, disenangkan, menyenangkan, disenangi. Itu garis manusiawi secara yang “terwariskan” dari masa ke masa.

Di hari-hari belakangan ini, kecemasan akan kehilangan kesenangan semakin naik frekuensinya. Bukan saja cemas, tapi merasa terancam terenggut dari perasaan yang selalu senang. Situasi dan kondisi yang tidak seimbang membuat alam dengan sendirinya akan menetralkan kondisinya. Bagi yang berlebih senangnya, akan coba ditarik ke kutub yang kurang senangnya, sudah menjadi hukum alam untuk selalu menjaga keseimbangannya.

Hukum alam bekerja untuk menjaga batas tidak dilampaui. Hukum alam mengitari kita untuk senantiasa patuh pada aturan keseimbangan. Jika melawan atau melampaui batas, keseimbangan pasti berkurang atau mungkin hilang.

Maka, pada beberapa kalangan tertentu, kesenangan itu diukur sekaligus dibatasi. Bahwa senang harus ada batasnya, senang tidak boleh berlebihan. Bahkan, dalam kondisi tertentu, senang haruslah dikekang, diikat dan bahkan harus dipendam.

Dalam kaidah teologis, puasa adalah salah satu cara untuk mengekang senang. Pilihan kata “kekang” untuk senang diibaratkan seperti liarnya kuda yang harus dibatasi dengan kekang. Puasa bukan saja dilakukan dalam waktu tertentu, tapi sepanjang masa dan keadaan dengan praktik dan kadar yang sesuai.

Puasa kesenangan adalah bagian dari metode untuk menyeimbangkan diri, menetralkan kondisi, dan mengembalikan ke titik normal. Puasa kesenangan bisa saja terwujud dalam mengurangi kesenangan berkuasa, kesenangan memimpin, kesenangan berharta, kesenangan menjabat, kesenangan dihormati, kesenangan dipuji, kesenangan dilayani dan ragam kesenangan sementara lainnya. Di antara banyak kesenangan itu, ada yang parah, yakni senang melihat orang menderita.

Kesenangan diatas adalah ragam dari banyaknya tipe kesenangan. Puasa kesenangan bukan untuk menghilangkan, tapi mengurangi, menahan, mengekang dan mengerem. Puasa kesenangan ini agar “diri bisa lebih tahu diri” jika bukan pada kondisi yang senang tetapi masih bisa “senang”. Sehingga, kesenangan ini hanya menjadi semacam “kondisi” yang bisa hinggap maupun lewat.

Ramadan banyak disebut sebagai bulan untuk mengekang kesenangan. Ada “jeda” yang panjang, ada interupsi pada keadaan yang serba sembrono, ada penghentian pada pesta-pesta yang bergelimang, ada penghentian makanan yang tumpah ruah, dan banyak jeda pada kesenangan lainnya.

Memang, pada setiap jeda itu, kerap dibarengi oleh “penderitaan”, sebab disetiap keinginan selalu ada penderitaan. Kenapa penderitaan? Sebab, jika ingin memperoleh senang yang melampaui apa yang telah diatur, maka akan mengambil porsi orang lain, bisa juga menumpuk senang pada kapasitas diri yang terbatas. Sebagai contoh adalah pola konsumsi yang melampaui batas, akan membuat badan menjadi tidak mampu mengelolanya hingga timbullah penyakit pada badan.

Olehnya, perlu untuk memaknai kembali Ramadan menjadi bulan untuk latihan “jeda” dan “interupsi” kesenangan. Ramadan semestinya kita jadikan sebagai titik koreksi dan pengingat diri soal adanya batas. Bahwa keinginan harus dibatasi, jika tidak malah hanya akan melahirkan penderitaan. Kecuali menyetel “keinginan” untuk ke arah hidup yang lebih baik, lebih dekat padaNya. Setelah sekian lama bergumul dan bergelimang dengan dosa yang disebabkan oleh keinginan tak terkendali.

Karena itu, bagi Ibn ‘Arabi, Ramadan itu adalah praktik “meninggalkan”, bukan melakukan. Puasa dibulan Ramadan adalah pengosongan diri dari sifat hewani agar diri menjadi ruang bagi berpendarnya cahaya Tuhan, sehingga yang tersisa adalah sifat insani. Orang seperti ini akan menjadi orang jujur, sabar, peduli sosial, ramah, dan toleran. Orang seperti ini tak akan melakukan penipuan dan mengambil yang bukan haknya. Orang seperti ini tak akan membiarkan orang-orang yang terpinggirkan menderita kelaparan. Orang seperti ini tak akan mencaci-maki aliran lain karena itu akan menyakiti para penganutnya.

Melatih mengekang kesenangan pada bulan Ramadan adalah momentum membangkitkan motivasi, semangat, sumber inspirasi dan membangunkan kembali kesadaran kritis yang mengendap dalam diri setiap umat Islam, dengan demikian kehadiran Ramadan tersebut tidak kehilangan maknanya. Selanjutnya, bagaimana kesadaran kritis yang dibangkitkan tersebut tersebut mampu menggerakkan umat untuk melakukan perubahan radikal dalam dirinya sebelum kemudian ditularkan kedalam lingkup yang lebih luas. Kesadaran kritis yang dimaksud untuk mengentaskan ketertindasan dan melawan penindasan manusia atas manusia lainnya.

Harapan inilah yang kemudian menjadi obsesi kita dalam Ramadan yang baru berlangsung ini, semata-mata agar berkah Ramadhan menyebar seperti pupuk yang disemai ditanah agar tanah semakin subur.

Semoga setelah melalui etape pertama 10 hari Ramadan ini, niat kita untuk “latihan” berpuasa bisa kita “luruskan” lagi, hingga Ramadan akan kita rampungkan dengan lebih khusyuk dan tulus. Harapannya, agar sanubari kita semua diterangi cahayaNya yang tak terbatas.(*).

Share :  
Example 120x600