Example floating
Example floating
Opini

Rame-Rame Berhutang

×

Rame-Rame Berhutang

Sebarkan artikel ini
Fahrudin Zain Olilingo
Foto : Prof. Dr. H. Fahrudin Zain Olilingo. SE., M.Si,(foto Anas/Kontras.id).

Oleh : Prof. Fahrudin Zain Olilingo,(Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Gorontalo).

Kontras.id, (Opini) – Membaca tulisan bapak Dahlan Pido SH.,MH Senin. 26 Juli 2021 di Harian Gorontalo Post yang bertajuk Hutang Negara dan Tanggung Jawab Rakyat, saya menjadi terusik juga untuk menuliskan topik tentang hutang Negara yang sudah melambung tinggi disadari atau tidak menjadi beban dalam jangka pendek dan jangka panjang.

Saat ini besaran hutang Negara mengalami peningkatan secara progresif dan berdasarkan angka pak Dahlan Pido mencapai 8.000 triliun rupiah. Rupanya berhutang sudah lumrah dan menjadi hal yang biasa saat ini dan menganggap hutang bukan menjadi beban tapi merupakan sumber penerimaan untuk membiayai pembangunan.

Bahkan saat ini berhutang tidak saja menjadi hak pemerintah pusat, namun sudah ditularkan ke daerah melalui Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) di tengah Pandemi Covid 19 saat ini sehingga menjadi rame-rame berhutang karena lembaga di pusat baik pemerintah maupun swasta juga ramai-ramai berhutang ke luar negeri.

Berhutang dalam ekonomi dibolehkan asal saja memperhatikan kemampuan membayar kembali serta memanfaatkannya dalam belanja yang diproyeksikan menghasilkan pendapatan untuk membayar kembali hutang. Kalau demikian pembiayaan hutang pada proyek investasi yang menghasilkan keuntungan. Dalam pendekatan bisnis memang demikian, bagaimana kalau pemerintah yang berhutang untuk kepentingan umum?.

Falsafah hutang oleh pemerintah dimulai semenjak program pemulihan ekonomi Negara-negara Eropah yaitu Inggeris, Jerman, Italia, Perancis dan Belgia yang hancur akibat perang dunia kedua tahun 1948 yang diprakarsai oleh staf Sekretariat Negara Amerika Serikat yang bernama George Marshal. Jumlah dana yang dikucurkan sebesar $ 15 juta AS.

Belakangan program ini menjadi terkenal dengan Marshal Plan karena berhasil memperbaiki kondisi infrastruktur serta memulihkan ekonomi Negara-negara Eropah yang hancur waktu itu.

Hanya dalam tempo 4 tahun yaitu tahun 1952 Marshal Plan tersebut berhasil mengangkat perekonomian Negara-negara Eropah menjadi lebih baik, infrastruktur serta pelayanan public juga menjadi lebih baik. Salah satu kunci keberhasilan Marshal Plan tersebut adalah karena tingkat kepatuhan dan kedipsilinan Negara-negara penghutang dalam memanfaatkan dan mengembalikan pinjaman.

Dalam hal ini dana yang diterima dengan penuh kesadaran dimanfaatkan dengan baik oleh pemerintah tanpa ada kebocoran. Dengan demikian fungsi hutang untuk memulihkan ekonomi yang porak poranda terlaksana dengan baik. Model pembiayaan pembangunan dengan hutang ini diadopsi oleh sebagian besar Negara-negara berkembang termasuk Indonesia, namun hasilnya tidak seperti yang diharapkan.

Negara-negara berkembang benar-benar menikmati pinjaman sebagai bagian dari pendapatan dan melupakan bahwa ini merupakan kewajiban yang harus dibayar. Buktinya Negara yang tidak hati-hati termasuk Indonesia sudah masuk dalam perangkap hutang, antara berhenti berhutang atau masih menambah hutang.

Sepertinya perangkap ini telah menggiring kita pada pilihan harus berhutang kalau tidak mati. Buktinya release CNBC Indonesia bahwa Ketua Badan Pemeriksa keuangan (BPK) Indonesia Firman Sampurna menyatakan kehawatiran bahwa Indonesia tidak sanggup lagi membayar hutang.

Hasil Audit BPK tahun 2020 bahwa Indonesia harus hati-hati dalam penambahan hutang karena besarnya hutang dan bunga sudah melebihi Produk Domestik Bruto (PDB). Tahun 2020 pemerintah menambah hutang sebesar Rp. 1.225,9 triliun melalui penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) dan penambahan hutang luar negeri.

BPK juga mengungkapkan bahwa hutang tahun 2020 telah melampaui batas yang direkomendasikan Internatioan Monetary Fund (IMF) dan atau International Debt Relief (IDR) yaitu debt service ratio terhadap peneriman sebesar 46,77 % melebihi rekomendasi IMF sebesar 25 % – 35 %.

Kemudian rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan sebesar 19,06 % melampaui rekomendasi IDR sebesar 4,6 % – 6,8 % dan rekomendasi IMF sebesar 7 %- 19 %, serta rasio hutang terhadap penerimaan sebesar 369 % melampaui rekomendasi IDR senesar 92% – 167 % dan rekomendasi IMF sebesar 90 % – 150 %.

Untuk diketahui hingga Desember 2020 hutang pemerintah telah mencapai sebesar Rp. 6.074,66 triliun atau bertambah sebesar Rp. 1.296,56 triliun dari hutang tahun 2019 sebesar Rp. 4.778 triliun.

Saat ini pemerintah pusat juga sudah membolehkan pemerintah daerah untuk berhutang dalam rangka pemulihan ekonomi akibat Pandemi Covid 19. Menjadi kehawatiran kita bila daerah-daerah rame-rame juga ikut mengajukan proposal hutang termasuk Gorontalo tanpa perencanaan dan kontrol yang matang.

Menjadi pertanyaan juga apakah motivasi berhutang berkaca pada Marshal Plan atau hanya karena mumpung ada kesempatan serta ambisi politik dari kepala daerah Gubernur, Bupati dan Walikota yang ingin berkuasa lagi yang sekedar menunjukkan kepada rakyat bisa membangun daerah dengan keragaan infrastruktur seperti jalan, gedung dan lain-lain padahal itu beraasal dari hutang yang menjadi beban berkepanjangan.

Seharusnya rencana Pemerintah Daerah untuk memperbesar kapasitas fiskalnya melalui Hutang Pemerintah Daerah disertai dengan Rencana Pendapatan Pemerinta Daerah dimana pembayaran kembali hutang tersebut dapat terbayar oleh peningkatan Pendapatan Asli Daerah diatas peningkatan normal PAD.

Pertanyaannya adalah : 1. apakah daerah memiliki sumber daya alam/ekonomi yang memungkinkan peningkatan PAD secara eksponensial?; 2. apakah birokrasi Pemerintah Daerah cukup profesional untuk memanfaatkan potensi SDA/E itu dalam rangka peningkatan PAD secara eksponensial?(*).

Share :  
Example 120x600