Example floating
Example floating
DaerahOpini

Kritik Lewat Angket

×

Kritik Lewat Angket

Sebarkan artikel ini
Zulkarnain Musada
Foto : Zulkarnain Musada,(foto Istimewa).

Oleh : Zulkarnain Musada (Mahasiswa Pascasarjana Universitas Bosowa).

Kontras.id, (Opini) – Mungkin saja kita tak asing dengan kata kritik. Namun, harus kita akui, kita asing sebagai tradisinya. Kita memang selalu merasa asing atau justru tabu dengan semua yang berbau kritik. Kritik seperti momok amoral dalam nilai-nilai agama atau lebih dimaknai sebagai rasa dengki terhadap karya dan kerja orang. Tapi, toh kritik tetap merupakan tradisi dalam dunia intelektual maupun kekuasaan yang mestinya niscaya ada dalam kehidupan seni, sastra, kepentingan dan sebagainya. Plato serius dengan makna “kritikos” (menilai) untuk menghakimi karya seni yang menurutnya hanya mimesis. Sebuah tiruan dan turunan dari dunia ide yang telah mengada dan abadi. Ia mengkritik tiruan yang tak mungkin sempurna. Tetapi tetap saja ia melakukan kritik untuk idealnya. Demikian pula dengan Aristoteles dalam “poetica”, ia meramu standar kritik untuk menilai mutu karya.

Broadway, misalnya, dimana sentral teater di Amerika. Tradisi kritik merupakan kewajiban yang harus ada untuk menguji mutu pertunjukan dan aktornya. Dalam sebuah film Bridman (2014) dibintangi Michael Keaton, memperlihatkan tradisi kritik tersebut. Dimana seorang aktor dievaluasi untuk sampai pada pengukuhan mutu. Dari panggung Broadway, kemudian lahir aktor-aktor dengan kelas Oscar.

Dimasa Jacob Soemardjo, memegang kendali rubrik sastra “Pikiran Rakyat”. Misalnya, ia juga melakukan evaluasi terhadap karya cerpen yang dimuat dalam rubrik pendamping. Setidaknya hal itu menunjukkan tanggung jawab redaktur terhadap karya yang dimuat. Tradisi ini memperlihatkan sesuatu yang demokratis, bahwa redaktur memiliki standar yang bisa dipertanggungjawabkan dan menepis otoritas subjektif.

Demikian juga dengan Borges, tidak saja menulis cerpen. Ia juga menulis kritik, baik dalam cerpennya atau kritik karya. Semua fiksi Jorge Luis Borges yang lahir dari lautan pengetahuannya juga sebuah tiruan yang sering ia akui sebagai mencoba memahami dunia dengan segala kefanaan serta kelucuannya. Tetapi tentunya saja, Borges menulis dan tertawa karena tengah mengkritik sesuatu yang ganjil diantara misteri yang hadir dalam alam manusia.

Di Indonesia, kita mengenal metode Ganzheit, misalnya sebagai kritik modern yang sempat ada di Indonesia. Arief Budiman dan Goenawan Mohamad adalah orang-orang yang paling bertanggungjawab bagaimana model kritik ini berkembang. Meskipun demikian GM sendiri skeptis terhadap eksistensi kritik. Siap, menjadi tak terhormat dan dibenci, kata GM dalam sebuah acara model kritik Ganzheit di Salihara. Di dalam tulisannya di catatan Kebudayaan Horizon III, November 1968, GM menanggapi Wiratmo Soekito secara skeptis yang menulis Kegagalan Kritik Sastra Indonesia (Harian Kami, 30 November 1968) sebagai tak membutuhkan kewibawaan kritik kecuali terus mencari nilai-nilai.

Keengganan orang yang mengkritik dan dikritik, sesungguhnya menjadi problem sendiri. Ketika orang antikritik, maka yang terjadi sebenarnya adalah absolutisme kekuasaan. Maka, ia menjadi cenderung korup, arogan, tidak tau diri bahkan “baperan” seperti kata Lord Acton. Karya yang lahir dan terpublikasi, sesungguhnya merupakan hak publik dan bukan lagi milik pencipta. Ketika karya lahir dan tak ada pandangan evaluatif terhadap karya, maka yang terjadi adalah pembiaran terhadap kekacauan selera dan persoalan hidup yang lebih luas.

Kritik sesungguhnya, tidak saja diperlukan karena memberikan informasi dan signal yang dibutuhkan masyarakat apa yang baik dan sesuai keinginannya untuk dinikmati. Kritik juga membongkar kesalahan sejarah didalam teks dan manipulasi kejadian yang berimplikasi pada kesalahan kolektif. Ia mungkin bisa menjadi kejam, tetapi ia juga memberi batas-batas yang mampu meningkatkan mutu perubahan di zamannya.

Peristiwa kritik bisa dikemas dalam berbagai model bahasa tergantung selera dan kepentingan. Tetapi jika kritik terjadi karena faktor akses muara kepentingan kelompok, tentu ini menjadi ironi dan berimplikasi ketimpangan nilai keutuhan kelompok dalam mencapai konteks perubahan bagi masyarakat.

Dengan demikian, kita akan bermasalah bukan pada kritik. Namun, lebih pada nilai-nilai kemanusiaan dan peradaban yang lebih hakiki.

Lalu bagaimana kritik melalui hak Angket?

Perihal angket, ini hanyalah cendramata tentang bagaimana kita hidup berdemokrasi. Banyak pemimpin lebih bergairah dalam bekerja setelah dilanda angket. Namun, banyak juga yang harus gugur dalam singgasana kekuasaan akibat tidak swasembada dalam mengelola perbedaan pandangan. Angket juga telah diatur dalam kitab perundang-undangan sebagai corong legislatif guna menguji kemampuan pemimpin dalam meracik kebijakan.

Angket bukan “klimaks” daripada kekuasaan. Namun ia dibutuhkan untuk membangun bagaimana sebuah daerah bernaung pada demokrasi. Disini juga dibutuhkan perkakas lobi politik dalam peta koalisi ataupun oposisi. Sambil, meneropong langkah-langkah jitu untuk melumasi keadaan politik pasca angket. Tentu yang harus segera dilakukan adalah rekonsiliasi. Minum kopi bareng misalnya, atau sekedar bersafaria dengan kue-kue lebaran yang masih penuh di dalam toples.

Dalam konteks hak angket, kritik adalah metafora nalar yang dijangkarkan pada haluan demokrasi kewargaan. Demokrasi yang bersumbu pada etos gotong royong (Soekarno), pendidikan berdaulat (Hatta), jalan kerakyatan dan kemerdekaan (Tan Malaka), dan pedoman kehidupan yang lurus (Syahrir). Demokrasi yang menjadikan bentangan perbedaan sebagai oksigen yang menyatukan nyawa kesadaran kita dalam kehidupan berbangsa.(*).

Share :  
Example 120x600