Oleh : Zulkarnain Musada (Mahasiswa Pascasarjana Universitas Bososwa).
Kontras.id (Opini) – Harus diakui, tidak banyak yang memahami langkah dan pemikiran politik Djafar Ismail, baik sebagai figur politisi; ketua DPRD, maupun nakhoda politik; ketua DPC PDI-P Kab. Gorontalo Utara. Halangan utama terkait dengan kesulitan memahami langkah dan pemikiran politik Djafar Ismail adalah budaya komunikasi dan gelagat yang hambel, yang dibangun dengan kerabat sesama politikus. Ia bisa berbaur dalam kondisi genting bahkan sangat tenang jika suasana politik sementara melayang.
Djafar Ismail kemudian memperkuat keberadaan gaung politik dalam konteks yang sederhana dengan kebhinekaannya. Menekankan pada pemulihan ruang demokrasi “apa adanya”. Pada titik inilah kemudian opini dan asumsi sejumlah pihak yang cenderung meremehkan gugur seiring waktu.
Keberadaan Djafar Ismail dalam perpolitikan Gorut selama kurun waktu 14 tahun hingga kini menjadi penegas bahwa kontribusi pemikiran dan langkah politiknya menjadi rujukan bagi sebagian besar warga Gorut. Hal ini ditegaskan dengan kemenangan ParPol yang dipimpinnya, pada Pileg 2014 PDI-P meraup 3 kursi dengan perolehan suara parpol 7.342 (data KPUD Gorut) sehingga PDI-P menduduki kursi wakil ketua DPRD Gorut. Lalu Pileg 2019, PDI-P mengantongi 6 kursi yang tersebar di 4 Dapil dengan kalkulasi total suara Aleg 8.178 (data KPUD Gorut). Hasil itu mengantarkan PDI-P sebagai Ketua DPRD Gorut, momentum tersebut sebagai buah dari karakter dasar ideologi Partai yang matang dan konsisten.
Jargon Partai “Wong Cilik” menjadi magnet bagi konstituen ditengah-tengah pertarungan sesama Parpol. Saling jual gimmick yang mewakili keresahan rakyat tentu tidak terelakkan, mengingat ParPol mempunyai basis kantong suara dimasing-masing Dapil. Kesan kuat dalam pondasi politik nasionalisme di era pasca desentralisasi kekuasaan tersebut tampak dengan jejak pemihakan pada kelompok marginal. Selain ideologi partai, dongkrakan ketokohan juga kepopuleran para kader partai ikut memberikan pengaruh tersendiri.
Warna politik yang diracik mencoba mengambil jarak dan berbeda dengan kelompok politik era sebelumnya. Kekuatan ideologi politik yang disemai pada era awal daerah otonom baru (DOB) masih menjadi bagian yang terkoneksi dari menguatnya eksistensi politik PDI-Perjuangan yang kemudian diintegrasikan dengan ideologi politik Soekarno, Marhaenisme. Pemihakan pada kelompok marginal ditekankan pada pentingnya merawat keberadaan demokrasi guna memastikan bahwa kelompok marginal tetap dalam tanggungjawab demokrasi.
Sementara itu, saat mengantarkan Indra Yasin dan Thariq Modanggu (IQRA) menjadi pemenang dalam kontekstasi Pilkada 2018 tentu adalah ukuran dan bentuk kelihaian sosok Djafar Ismail dalam mendistribusikan kerja-kerja politik dengan mengakumulasi kepentingan serta kekuatan Partai-partai pengusung dan pendukung.
Bagaimana seorang Djafar Ismail mampu tetap menjaga irama dan ritme politik, baik diantara ParPol koalisi, ketua DPRD maupun internal Partai? Pertanyaan ini terjawab secara perlahan dengan salah satunya memahami pemikiran dan langkah politik Djafar Ismail itu sendiri. Demikian juga yang bertalian dengan dinamika politik daerah yang sangat dinamis, Djafar Ismail mampu memposisikan PDI-Perjuangan sebagai partai yang senantiasa tenang, penenang dan tidak masuk angin.
Pergeseran dan rekruitmen generasi di internal PDI-P ke yang lebih muda, juga sebagai kemaksimalan Djafar Ismail dalam melakukan regenerasi dan keikutsertaan terhadap style politik kekinian. Bahkan secara nasional, PDI-Perjuangan kemudian dianggap sebagai partai yang berhasil melakukan regenerasi politik bersama Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Kunci utama dari kepemimpinan politik Djafar Ismail menerapkan politik tangan terkepal, yang mana pendekatan yang dilakukan berbasis pada tiga rujukan, yakni; pertama, ideologi negara, dimana Pancasila 1 Juni dan UUD 1945 sebagai dasar pondasi utama bagi Djafar Ismail dalam menjalankan perannya, baik sebagai elite politik daerah maupun pimpinan DPRD. Setiap langkah, laku dan kebijakan yang diambil Djafar Ismail selalu merujuk pada konstitusi dan ideologi negara.
Kedua, ideologi partai politik. Dalam implementasinya, ideologi PDI-Perjuangan mengakar kuat pada Pancasila 1 Juni dan Marhaenisme. Ideologi partai politik ini kemudian menjadi panduan kerja-kerja demokrasi bagi para kader untuk tetap menjaga komitmen bagi kejayaan dan nama baik partai.
Ketiga, rujukan kolaborasi dan soliditas sesama kader yang tercermin pada keutuhan, kesamaan dan kesepakatan kehidupan di internal partai. Rujukan ini menggambarkan bagaimana Djafar Ismail berupaya keras mengintegrasikan para kader untuk menghormati dan menghargai sesama kader. Baik pemikiran, gagasan maupun kritikan, yang utamanya menyangkut khalayak.
Dengan politik tangan terkepal ini, Djafar Ismail ingin menegaskan pada kita bahwa selama langkah dan pemikiran politiknya adalah semata-mata untuk kepentingan daerah dan rakyat didalamnya, maka menarik garis lurus antara konstitusi, ideologi negara dan ideologi partai serta hubungan saling kolaborasi dan soliditas sesama kader adalah pilihan utama dan satu-satunya. Inilah kunci dan garansi agar rakyat dan demokrasi masih layak untuk dipercaya dan diagungkan.(*).