Example floating
Example floating
DaerahOpini

Menggugat Banjir Biar Humanis

×

Menggugat Banjir Biar Humanis

Sebarkan artikel ini
Banjir di Gorut
Foto : Kondisi beberapa desa di Gorut yang dilanda musibah banjir beberapa waktu lalu,(foto Istimewa).

Oleh : Zulkarnain Musada ((Mahasiswa Pascasarjana Universitas Bosowa)

Kontras.id (Opini) – Banjir tampaknya masih menjadi persoalan yang belum terpecahkan bagi sebagian wilayah pedesaan di Kab. Gorontalo Utara. Setiap kali rintik hujan membasahi kawasan desa dalam skala yang lama, banjir langsung menyergap ruang pedesaan. Tidak banyak juga pihak yang mengupas penyebab musibah banjir yang melanda Kab. Gorut di awal tahun 2021. Kebanyakan logika kita diarahkan pada bagaimana dan akibat terjadinya banjir. Bahkan, kerugian ekonomi dan material sampai model bantuan “lauk-pauk” jadi obrolan. Padahal, perubahan alam yang ditimbulkan oleh sejumlah kegiatan manusia menjadi penting untuk dibahas. Hal demikian sejalan dengan pemikiran jika alam hanyalah bereaksi terhadap aksi yang dilakukan manusia.

Lintas sektor pemerintah terutama dinas terkait; BPBD, sosial, pertanian, peternakan, PemDes, BAPPEDA sampai saat ini tidak merilis daftar kerugian dan daftar masalah banjir beserta solusinya kedepan. Berapa rumah tangga dan rumah warga yang terdampak serta hanyut, rusak, dan lainnya. Jumlah luasan hektar sawah yang terendam, hewan ternak yang mati. Berapa desa yang banjir, jumlah dan panjang drainase di setiap desa yang terkena banjir. Bagaimana model drainase itu sebelum banjir. Berapa sekolah, masjid dan fasilitas umum yang terendam. Bagaimana RTRW Gorut, dan penjelasannya dalam RPJMD. Model desain perencanaan penanggulan banjir seperti apa, dan cost anggarannya bagaimana. Lalu kondisi hutan Gorut terkini; Hutan lindung, produksi, dan sebagainya.

Isu strategis yang kemudian perlu diangkat adalah mengenai keseriusan dari pemerintah desa dan daerah dalam menuntaskan permasalahan banjir. Sebenarnya sudah ada berbagai program kegiatan yang dilakukan dalam upaya mengatasi permasalah banjir, tetapi kebanyakan masih bersifat parsial dan cenderung hit and run belaka ditataran implementasinya, belum menyentuh akar masalah secara substansi.

Rentetan Aktivitas
Banjir pada dasarnya terjadi tatkala aliran air menggenangi dan menutupi permukaan tanah yang mestinya kering. Salah satu penyebab utama banjir adalah meluapnya sungai. Selain itu jaringan saluran pembuangan air (drainase) yang tidak prima juga dituding sebagai salah satu biang kerok munculnya banjir yang mengepung puluhan desa di Gorut. Bisa jadi sistem drainase desa sudah tidak sesuai bagi daya tampung dan daya dukung lingkungan. Sehingga sebagian air yang sudah tidak bisa tertampung pada drainase merembes ke jalan dan membuat jalan trans Sulawesi mendadak berubah menjadi “arena arung jeram”.

Hutan pun demikian, yang tadinya hieum (seram) sering dirusak untuk kepentingan macam-macam. Tanah telanjang yang mampu meresapkan air pun semakin sedikit karena mungkin dianggap porno. Sayangnya pesatnya eksploitasi legal dan ilegal menyebabkan kemampuan menyimpan air pun terus menyusut sehingga air kian banyak dikirimkan ke area yang lebih rendah. Demikian pula perubahan aliran air yang tersumbat sejumlah kegiatan lainnya pun melarikan diri ke arah yang sekiranya dapat ditembusnya sambil membawa material apa pun yang dapat dihanyutkannya.

Hal lainnya yaitu penurunan muka tanah (land subsidence), baik yang disebabkan oleh proses-proses alami maupun yang disebabkan oleh pengambilan air bawah tanah dan material lainnya secara besar-besaran serta tidak terkendali yang menjadikan sebagian wilayah di Kab. Gorut semakin ambles dan makin mempermudah diterjang banjir.

Begitu pula cara pembukaan lahan tidak ramah ekologis. Warga biasa membakar hutan karena lebih murah, cepat, dan langsung bersih. Metode ini baiknya ditinggalkan. Saat warga melakukan pembakaran demikian menyebabkan karbondioksida terlepas ke udara bebas.

Setelah ditanami tanaman perkebunan terjadi banjir. Tanah tidak ditutupi vegetasi sehingga air hujan tidak bisa masuk ke tanah. Kemudian, kebutuhan pangan warga bertambah. Demi memenuhi kebutuhan pangan maka hutan dan lahan yang tersedia digunakan untuk produksi pangan, baik padi maupun tanaman pangan lainnya. Jika solusi lain tidak ditemukan, perluasan lahan akan terus terjadi. Maka lahan sempit menjadi inovasi dan tantangan bagi pertanian dan perkebunan.

Kolaborasi MultiDesa
Mungkin kita harus mafhum bahwa masalah bencana banjir di Kab. Gorut tidak bisa diselesaikan oleh satu aktor saja, tetapi perlu kolaborasi kerja dari lintas sektor dengan berbagai kewenangan yang dimiliki. Namun jika kemudian muncul, alasan bahwa ketidakmampuan menyelesaikan permasalahan banjir terkait kewenangan yang dimiliki, hal ini mengindikasikan masih dominannya ego sektoral, lemahnya koordinasi dan lack of leadership. Sebenarnya merupakan alasan “klise” dalam ranah kebijakan publik.

Pertanyaan pentingnya, apakah kita tidak mengambil pelajaran dari kesalahan di masa lampau yang selalu berkutat dengan hal tersebut.

Salah satu upaya yaitu merumuskan strategi daftar inventaris masalah banjir ke dalam bentuk Rencana Aksi MultiDesa Implementasi Pencegahan dan Penanggulangan Banjir (RAM-IP2B) dengan melibatkan desa-desa serumpun rawan banjir di berbagai kecamatan. Tidak hanya melibatkan desa, tapi juga mengikutsertakan pihak legislatif dan eksekutif sebagai “sparing parnert” dalam upaya policy dan politik. RAM-IP2B akan menjadi arena kolaborasi dan sinergitas dari berbagai program yang dicanangkan oleh setiap desa agar berada dalam satu gerbong yang sama yaitu komitmen menuntaskan bencana banjir. Sedangkan bagian dari lokomotifnya yaitu APDESI, Balai Wilayah Sungai (BWS) Sulawesi II dan Pemprov Gorontalo.

Kemudian melakukan Rembuk Desa Rawan Banjir (Rembuk DEWAN) sebagai salah satu langkah cepat dari fenomena banjir pedesaan di beberapa kecamatan. Pertemuan itu terkait; (1) Melakukan “reka ulang” peta kawasan lahan-lahan garapan industri/investor (hutan, pertambangan, pertanian, perkebunan, dsb) sebagai basis referensi aliran air di titik banjir, (2) Bila perlu dan dimungkinkan industri/investor dimintai tanggungan dana CSR sebagai itikad kepedulian bencana (bagi desa yang terdapat industri), (3) Perlu adanya master plan “one map” drainase pada masing-masing kecamatan dan desa yang rawan banjir (jika sudah ada di tinjau kembali), (4) Kondisi ini mensinyalir bahwa indeks membangun desa dalam bentuk fisik (drainase) kurang melibatkan akumulasi daya dukung dan daya tampung debit air, (5) Melakukan plotting policy dalam upaya pembangunan desa yang ramah lingkungan (Village go Green), (6) RKP-Des dan Musrembang perlu memastikan pembangunan hulu-hilir perairan desa yang sustainable. (6) Diperlukan gerakan Stuban (studi banding/studi kerja) yang lebih menitikberatkan pada aspek penanganan banjir di desa-desa yang telah mandiri, maju dan berkembang pada daerah lain.

Gerakan praktisnya bisa diawali dengan OPNAME; Operasi Drainase Sampah Masyarakat Sekitar. Pembersihan, juga pembenahan drainase yang sudah tertimbun sampah, tanah dan anjlok. Penentuan titik koordinat lokasi pembuangan sampah masyarakat agar tidak sembarang tempat. Tentunya diperlukan juga inovasi mengenai pengelolaan dan peremajaan sosialisasi perihal sampah. Warga harus dilibatkan, jangan sampai warga hanya menjadi penonton atau outsider.

Komitmen Rembuk Desa Rawan Banjir (DEWAN) dan RAM-IP2B sebagai langkah taktis, praktis dan juga politis. Namun jika ini terjadi maka wajib diapresiasi dan diberi dukungan. Meskipun ada rasa penasaran juga kekhawatiran, sebab menggabungkan kepentingan lintas sektoral sangatlah sulit di zaman yang semakin cepat. Butuh kelapangan hati, keluasan pikiran dan ketebalan niat.

Selain itu, Rembuk DEWAN dan RAM-IP2B adalah momentum yang tepat bagi APDESI disuasana personilia yang baru. Kehadiran platform yang baru, sebagai tanda kemajuan dalam batang tubuh struktur dan ide-ide APDESI kedepannya. Rembuk DEWAN dan RAM-IP2B juga segenap solusi lainnya seperti batu sanjungan sekaligus timah ujian APDESI guna menjawab keraguan atas lembaga ini.

Tentu suara sumbang juga patut dilirik pemerintah desa dan daerah karena bisa saja itu suara sahabat sejati. Musrembang desa, kecamatan sampai daerah perlu diremajakan agar lebih bernas dan menjadi media diskusi untuk kemaslahatan bersama. Fungsi pemerintah harus menjadi pengarah yang membaca masalah dan membidik langkah. Libatkan juga pihak luar sebagai penyelaras dalam relasi ABCGM (akademisi, bisnis, community, government, dan media) agar bisa bersinergi dan memantikkan energi.

Kedepan, rumusan pembangunan fisik baik di tingkat desa sampai daerah harus berwatak lingkungan. Bisa jadi ekologis menjadi penjaga gawang yang harus ditempatkan sebagai prasyarat penting dan bukan pelengkap “dokumen cadangan” agar bangunan kehidupan lebih elegan dan humanis.

Jika ditilik dari sudut ilmu kebencanaan, banjir sesungguhnya adalah bencana hasil buatan manusia. Pasalnya, kemunculan banjir lebih sering disebabkan oleh kehidupan manusia yang semena-mena dalam memperlakukan alam lingkungan sekitar. Daya dukung lingkungan tidak lagi perkasa seperti sebelumnya, untuk memberikan kenyamanan hidup bagi manusianya. Bila sudah demikian, pemerintah pun tidak dirasakan kehadirannya. Terorisme telah bermetamorfosis dari teroris ideologis ke teroris ekologis. Homo homini lupus telah menggantikan homo homini socius yang Hobbes tuliskan dalam bukunya “De Cive”, tahun 1651.(*).

Share :  
Example 120x600