Kontras.id (Pohuwato) – Persoalan tambang emas di kabupaten Pohuwato tak kunjung usai. Bahkan makin memprihatinkan, ribuan massa terdiri dari pelaku usaha tambang dan penambang lokal pun terpaksa harus turun ke jalan.
Senin (21/12/2020) ibu kota kabupaten Pohuwato dipenuhi lautan manusia yang menggantungkan hidupnya dari aktifitas menambang. Menuntut agar aktifitas pertambangan menggunakan alat berat tidak dihentikan
Tak hanya penambang saja. Pedagang, petani, nelayan, pun ikut berbaur pada aksi itu. Alasannya sederhana, pertambangan di Pohuwato menjadi salah satu pendongkrak roda perekonomian daerah.
“Jika tambang ini ditutup maka bisa dipastikan ekonomi Pohuwato melemah. Daya beli masyarakat menurun, dan angka kemiskinan meningkat,” ungkap Jendral Lapangan massa aksi, Limonu Hippy.
Penggunaan alat berat pada aktifitas pertambangan memang mengundang banyak sorotan, utamanya dari kalangan aktifis lingkungan. Akan tetapi para penambang termasuk masyarakat pendulang emas mengaku kesulitan tanpa kehadiran alat berat di lokasi tambang.
“Kandungan emas kita itu sudah ada di kedalaman. Jadi tidak mungkin penambang dipaksa menggunakan cara manual seperti pakai linggis, harus dengan alat berat,” kata Limonu.
Lebih parah lagi, aktifitas tambang lokal di Pohuwato saat ini belum memiliki izin alias masih berstatus ilegal. Dikarenakan pemerintah tak kunjung tuntas mengurus realisasi Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dan Izin Pertambangan Rakyat (IPR).
“Jadi jangan ada penertiban aktifitas tambang sebelum adanya WPR dan IPR,” tegas Limonu lagi.
Kondisi ini berbanding terbalik dengan keberadaan sejumlah perusahaan tambang yang ada di Pohuwato. Sebut saja PT. GSM dan PT. PETS, yang konon katanya sudah sekitar 10 tahun beroperasi di daerah berjuluk Bumi Panua itu.
Berbeda dengan penambang lokal yang nasibnya masih terkatung-katung. Perusahan-perusahan tambang emas ini telah mengantongi izin resmi. Dengan melakukan operasi di wilayah-wilayah primer, yang artinya kandungan emasnya lebih melimpah.
“PT. GSM dan PT. PETS itu sudah 10 tahun beroperasi di Pohuwato. Kita baru setahun, kita baru setahun menikmati warisan leluhur kita. Tapi kita sudah dianggap seperti pencuri,” tutur Risal Lasantu, salah satu orator aksi yang berlangsung lebih dari 6 jam itu.
“Kami dianggap pencuri di rumah kami sendiri. Hukum di negara mana yang membenarkan bahwa kalau ada pencuri yang makan nasi di rumahnya sendiri,” pungkas Risal.
Merespon tuntutan massa aksi, bupati Pohuwato, Syarif Mbuinga, menyampaikan bahwa sampai dengan saat ini pemerintah kabupaten Pohuwato masih terus berjuang merealisasikan WPR dan IPR di Pohuwato.
“Dan atas penyampaian aspirasi hari ini menjadi poin penting untuk saya meyakinkan kembali kepada pemerintah provinsi dan pusat, betapa rakyat Pohuwato sangat membutuhkan dan meminta percepatan agar direalisasikan WPR yang telah kami perjuangkan selama ini,” ungkap Syarif.
“Andai WPR itu cukup dengan tanda tangan saya selaku bupati, maka sejak dahulu WPR itu sudah terealisasi. Betapa WPR bukan menjadi kewenangan tunggal pemerintah kabupaten, pemerintah kabupaten memproses dengan serius,” tambahnya.
Pengurusan WPR kata Syarif, sudah selesai di tingkat kabupaten, dan saat ini terus berproses di tingkat provinsi dan sampai di tingkat pusat. “Belum lama ini saya sudah mengirimkan tim ke pusat, tim percepatan WPR Pohuwato. Itu sementara berproses dan diharapkan untuk segera mendapatkan atensi yang sungguh-sungguh,” jelas Syarif.
Penulis : Hitler Simanungkalit Redaktur : Anas Bau