Example floating
Example floating
DaerahPendidikanTokoh

Ketika Cangkul Anak Petani Diganti Disertasi, Sarfan Tabo Kini Bergelar Doktor

×

Ketika Cangkul Anak Petani Diganti Disertasi, Sarfan Tabo Kini Bergelar Doktor

Sebarkan artikel ini
Sarfab Tabo
Dr. Sarfan Tabo, S.Sos., M.Si berpose dengan isteri,(foto Istimewa).

Kontras,id, (Bolmut) – Di balik toga dan gelar Doktor yang kini disandangnya, tersimpan kisah perjuangan panjang yang penuh air mata, pengorbanan, dan doa-doa lirih dari sebuah keluarga petani sederhana di pelosok Bolaang Mongondow Utara (Bolmut). Dialah Dr. Sarfan Tabo, S.Sos., M.Si, anak desa yang hari ini menorehkan sejarah. Bukan hanya untuk dirinya dan keluarga, tapi juga untuk daerah asalnya yang sering kali dipandang sebelah mata.

Lahir dari pasangan Djainuri Tabo dan Surianti Olomia, petani bersahaja yang hanya menamatkan bangku Sekolah Dasar (SD). Sarfan kecil tumbuh dalam lingkungan yang serba terbatas. Rumah berdinding papan, beratap seng bocor, dan berlantai tanah menjadi saksi bisu dari mimpi-mimpi besar yang ia sematkan sejak usia dini.

Di antara gemeretak angin malam dan bunyi cacing tanah yang menggerayangi gubuk sederhana itu, Sarfan pernah berkata kepada ibunya,. “Suatu hari nanti, saya akan berdiri di depan banyak orang, memakai toga, dan membuat ayah ibu bangga,” kata Sarfan kepada Kontras.id, Rabu 28/05/2025.

Tak ada jalan pintas menuju mimpi. Ketika teman-teman sebayanya mulai kehilangan arah karena putus sekolah, Sarfan justru menantang nasib. Setiap sore ia membantu ayahnya mencangkul ladang, dan setiap pagi, ia tetap berangkat ke sekolah meski hanya berbekal buku bekas dan seragam tambalan. Kadang ia harus berjalan kaki sejauh 5 kilometer, menyusuri jalan berlumpur demi menuntut ilmu. Tapi tak sekalipun ia mengeluh.

“Mereka petani, bukan profesor. Tapi dari merekalah saya belajar disiplin, kejujuran, dan arti tanggung jawab,” kata Sarfan dalam salah satu pidatonya yang menggetarkan ruang sidang promosi doktoralnya di Gedung Pascasarjana Universitas Negeri Makassar (UNM).

Sarfan menapaki pendidikan tinggi dengan langkah tertatih namun penuh keyakinan. Ia menyelesaikan studi S1 di bidang Ilmu Administrasi Publik, lalu melanjutkan ke jenjang Magister, sebelum akhirnya memutuskan untuk mengejar gelar Doktor.

Tidak mudah. Banyak kali ia hampir menyerah karena biaya kuliah yang tak sedikit, sementara kebutuhan keluarga terus mendesak. Tapi setiap kali ragu menyergap, ia teringat wajah ibunya yang keriput dan tangan ayahnya yang kapalan. Dari merekalah ia menggali kekuatan.

Disertasinya yang berjudul “Model Implementasi Kebijakan Penanganan Stunting di Kabupaten Bolaang Mongondow Utara” dipuji sebagai salah satu karya akademik yang aplikatif dan membumi. Ia tidak hanya menulis dari balik meja, Sarfan turun langsung ke desa-desa berdialog dengan masyarakat, menggali data, menyelami realitas hidup warga yang berjuang melawan stunting.

“Ini bukan hanya riset. Ini adalah suara masyarakat yang selama ini tak terdengar. Saya hanya menjadi corongnya,” ujarnya.

Dalam sidang terbuka yang dihadiri puluhan akademisi dan kerabat, suasana menjadi hening saat Sarfan menahan tangis ketika menyampaikan ucapan terima kasih.

“Gelar ini untuk orang tuaku, untuk istriku Ulfa Bilondatu, dan untuk kedua anakku, Saffa dan Siffah. Tanpa mereka, saya mungkin sudah menyerah di tengah jalan,” ucapnya dengan suara bergetar.

Tampak jelas mata sang ibu memerah, tangan sang ayah gemetar menahan haru. Bagi mereka, Sarfan bukan hanya anak, tapi juga harapan. Mereka tidak bisa membaca disertasi putra mereka, tapi mereka tahu, perjuangan anak sulung mereka telah mengangkat martabat keluarga yang selama ini terpinggirkan oleh stigma kemiskinan.

Sebagai dosen Ilmu Administrasi Publik di Universitas Gorontalo, Dr. Sarfan Tabo kini menjadi teladan bagi banyak mahasiswa. Ia dikenal sebagai pengajar yang rendah hati, tegas namun peduli, dan selalu membimbing mahasiswa dengan pendekatan humanis.

Ia bukan tipikal akademisi yang berjarak. Bahkan sering kali, ia masih membawa bekal dari rumah, bukti bahwa meski berilmu tinggi, ia tak pernah meninggalkan akar kesederhanaannya.

Rektor Universitas Gorontalo menyampaikan apresiasi tinggi atas pencapaian tersebut.

“Kami bangga memiliki dosen sekaliber Dr. Sarfan. Beliau bukan hanya mengajar dari buku, tapi dari kehidupan nyata. Ilmunya bukan hanya untuk dipamerkan, tapi untuk diabdikan,” ucap Rektor dalam sambutan tertulisnya.

Tak ingin berhenti di gelar, Dr. Sarfan Tabo telah merancang sejumlah program pengabdian masyarakat di desa-desa terpencil. Fokusnya adalah pada peningkatan kapasitas tata kelola pemerintahan desa dan pemberdayaan masyarakat dalam pencegahan stunting serta penguatan peran pemuda desa.

“Jika dulu saya bisa berangkat dari sawah menuju kampus, maka hari ini tugas saya adalah membuka jalan agar anak-anak lain dari desa juga bisa melampaui apa yang saya capai,” ujarnya.

Salah satu impiannya adalah membangun pusat studi kebijakan publik berbasis lokal di Gorontalo dan Bolmut, agar praktik kebijakan tidak lagi hanya meniru dari pusat, tetapi dibangun berdasarkan kebutuhan dan realitas daerah.

Di akhir wawancara, Dr. Sarfan Tabo sempat diam sejenak. Matanya memandang jauh, seakan menembus kembali ke masa kecilnya yang penuh luka dan peluh.

“Saya tidak ingin anak-anak di kampung saya berpikir bahwa pendidikan tinggi itu mustahil. Saya pernah berada di titik itu, dan saya tahu rasanya ketika mimpi dianggap terlalu besar untuk orang miskin. Tapi hari ini saya buktikan, bahwa tanah yang kotor bisa melahirkan buah yang manis,” tegas Sarfan.

Dengan gelar Doktor di genggaman dan semangat juang yang tak pernah padam, Dr. Sarfan Tabo telah menorehkan namanya, bukan hanya di lembar ijazah, tapi di hati masyarakat yang selama ini mencari panutan baru. Ia bukan anak pejabat, bukan pula keturunan bangsawan, tapi hari ini, dialah wajah harapan baru untuk generasi muda Bolmut dan Indonesia Timur.

Share :  
Example 120x600