Example floating
Example floating
HeadlineOpini

Pulanga Tinepo Bukan Untuk yang Bisu: Diamnya Rachmat Gobel Melihat Amoralitas

×

Pulanga Tinepo Bukan Untuk yang Bisu: Diamnya Rachmat Gobel Melihat Amoralitas

Sebarkan artikel ini
Man'uth M. Ishak
Mantan Koordinator BEM Provinsi Gorontalo, Man'uth M. Ishak,(foto Istimewa).

Oleh: Man’ut M. Ishak (Mantan Koordinator BEM Provinsi Gorontalo).

Kontras.id, (Opini) – Sebagai masyarakat Gorontalo yang masih berpegang pada falsafah bahwa adat adalah sumber moral, bukan alat kekuasaan, kami menolak tegas pemberian gelar adat Pulanga Tinepo kepada Rachmat Gobel.

Adat seharusnya diberikan kepada sosok yang meneladankan nilai-nilai kebaikan, bukan semata kepada mereka yang memiliki jabatan tinggi.

Sebagai Ketua Partai NasDem Provinsi Gorontalo, Rachmat Gobel memiliki tanggung jawab moral terhadap sikap dan perilaku kadernya. Namun, ketika salah satu kadernya, Dheninda Chaerunnisa, anggota DPRD Gorontalo Utara dari Partai NasDem, terlibat dalam tindakan yang mencederai etika publik, Rachmat Gobel justru memilih diam.

Publik Gorontalo tentu masih mengingat, Dheninda bukan hanya terseret dalam kontroversi politik, tetapi juga diduga melakukan tindakan amoral yang tidak pantas bagi seorang pejabat publik, mulai dari pernyataan yang melecehkan aktivis hingga munculnya video mesra yang menghebohkan masyarakat.

Kekecewaan publik pun muncul karena tidak ada sikap tegas dari pimpinan partai di tingkat provinsi. Dalam pandangan adat Gorontalo, diam terhadap pelanggaran moral merupakan bentuk pembiaran.

Sikap bungkam atas tindakan tercela kadernya sama saja dengan menodai nilai-nilai adat yang menjunjung tinggi kesucian moral.

Baca Juga: BEM Universitas Gorontalo Desak Dua Legislator Terseret Kasus Amoral Dicopot

Karena itu, pemberian gelar adat Pulanga Tinepo kepada Rachmat Gobel dianggap tidak sejalan dengan makna filosofis gelar tersebut. Gelar adat semestinya menjadi bentuk penghormatan kepada mereka yang menjaga marwah dan kebenaran, bukan sekadar simbol kehormatan bagi mereka yang berkuasa.

Kami menolak bukan karena kebencian pribadi, tetapi karena kecintaan pada kebenaran dan kesucian adat Gorontalo. Adat tidak boleh dijadikan tameng bagi kekuasaan yang bisu terhadap keburukan.

Kehormatan budaya tidak boleh ditukar dengan kepentingan politik.
Dalam nilai adat Gorontalo, kehormatan ditentukan oleh keberanian menegur yang salah dan membela yang benar. Karena itu, selama pemimpin tidak menunjukkan sikap moral terhadap tindakan kadernya, maka gelar adat tidak layak disematkan.

Lebih baik adat tetap suci tanpa gelar, daripada megah di tangan mereka yang kehilangan nurani.

Share:  
Example 120x600