Kontras.id, (Gorontalo) – Dunia politik Gorontalo diguncang oleh video viral berdurasi 17 detik yang memperlihatkan kemesraan yang diduga merupakan Anggota DPRD Gorontalo Utara dengan inisial DC bersama Anggota DPRD Kota Gorontalo, AKL di dalam mobil.
Video itu menimbulkan kegaduhan dan menggoyang kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif.
Masyarakat menilai tindakan dua wakil rakyat tersebut tidak hanya tidak pantas, tetapi juga mencerminkan rendahnya moralitas dan hilangnya etika jabatan publik.
“Pejabat publik itu cermin rakyat. Saat moralnya runtuh, kepercayaan pun ikut roboh,” ujar salah satu warga di media sosial seperti dilansir Kontras.id, Sabtu 01/11/2025.
Ketua BEM Fakultas Hukum Universitas Gorontalo, Riki Apriyanto Daud menegaskan bahwa pejabat publik wajib menjaga integritas moral sebagai bagian dari asas kepatutan dalam hukum administrasi negara.
“Jabatan publik itu bukan hak pribadi, tapi amanah rakyat. Ketika pejabat memperlihatkan perilaku tidak senonoh, itu bukan sekadar pelanggaran etik, tapi bentuk penyalahgunaan otoritas moral,” tegas Riki.
Menurut Riki, perilaku tersebut melanggar UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan Pasal 3 UU Nomor 28 Tahun 1999, yang menegaskan bahwa setiap penyelenggara negara wajib menaati norma moral, etika, dan nilai-nilai agama.
“Asas moralitas jabatan adalah fondasi pemerintahan yang beretika,” kata Riki.
Riki mengatakan bahwa dalam adat Gorontalo, seorang pemimpin atau Olongia bukan hanya pemegang kekuasaan, melainkan penjaga moral dan spiritual masyarakat.
“Adati hula-hula’a to syaraa, syaraa hula-hula’a to Kitabullah” — adat bersendikan syariat, syariat bersendikan Kitabullah,” ucap Riki.
Ia menyampaikan bahwa pemimpin yang berperilaku menyimpang disebut Puulo (pemimpin berlumur dosa), dan jika pelanggarannya berat akan disebut Biito, simbol kehancuran moral dan sosial.
“Ta kewu-kewungo debo odungga lo punungo, artinya pemimpin yang bengkok dari nilai akan berakhir binasa,” ujar Riki.
Fenomena ini, kata Riki, merupakan patologi kekuasaan, di mana pejabat kehilangan tanggung jawab etis terhadap jabatannya.
“Kekuasaan tanpa moral hanya melahirkan kesewenang-wenangan dan kehancuran nilai,” jelas Riki.
Ia mengatakan bahwa secara sosiologis, skandal semacam ini bukan sekadar aib pribadi, tetapi krisis legitimasi moral dalam sistem politik daerah.
“Ketika publik kehilangan teladan, maka runtuhlah kepercayaan terhadap demokrasi,” tegasnya lagi.
BEM Fakultas Hukum Universitas Gorontalo mendesak agar Badan Kehormatan (BK) DPRD Kabupaten Gorontalo Utara dan Kota Gorontalo segera memproses kasus ini melalui sidang etik.
“Klarifikasi dan permintaan maaf saja tidak cukup, harus ada tindakan nyata,” kata Riki.
Selain itu, Partai NasDem dan PPP sebagai pengusung kedua pejabat diminta memberi sanksi tegas agar marwah partai dan lembaga publik tidak semakin terpuruk.
“Partai harus menunjukkan bahwa mereka berpihak pada etika, bukan skandal,” ujar Riki.
Ia menegaskan bahwa BEM FH Universitas Gorontalo juga berencana menggelar aksi demonstrasi di kantor partai politik pengusung kedua legislator tersebut.
“Kami menolak normalisasi perilaku amoral pejabat publik. Ini soal kehormatan lembaga, hukum, dan adat Gorontalo,” tegas Riki.
Krisis moral pejabat publik ini menjadi cermin bahwa kepemimpinan tanpa integritas hanya akan melahirkan kehancuran nilai dan kepercayaan.
“Gorontalo tidak kekurangan orang cerdas, tapi sangat butuh pemimpin yang beradat, beragama, dan berakhlak. Jangan sekali-kali memperturutkan hawa nafsu, sebab di situlah awal kehancuran seorang pemimpin,” tandas Riki.














