Kontras.id, (Gorontalo) – Rapat Paripurna DPRD Provinsi Gorontalo dalam rangka penetapan Rancangan Perda tentang APBD Perubahan Tahun Anggaran 2025, Senin (25/8/2025), berlangsung berbeda dari biasanya. Untuk pertama kalinya dalam sepuluh tahun terakhir, keputusan diambil lewat pemungutan suara, bukan musyawarah mufakat.
Hal ini terjadi setelah salah seorang anggota DPRD, Umar Karim, menyatakan penolakan. Ia menilai terdapat anggaran sekitar Rp5 miliar yang bertentangan dengan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang efisiensi anggaran.
“Anggaran hasil efisiensi itu seharusnya untuk rakyat. Masa dipakai memperbaiki kamar mandi Kantor Gubernur. Apapun alasannya, itu tetap tidak masuk akal sehat,” tegas Umar Karim saat menyampaikan pendapatnya.
Ia juga menyoroti keputusan Badan Anggaran DPRD yang meloloskan alokasi tersebut. Menurutnya, hal itu menunjukkan sikap yang tidak menghormati arahan Presiden.
Lebih jauh, Umar mengaku heran karena pada saat yang sama DPRD justru mendapat tambahan anggaran Rp17,3 miliar.
“Saya jadi heran, ketika Banggar menyetujui Rp5 miliar yang tidak sesuai Inpres, DPRD malah dapat bonus Rp17,3 miliar,” ujarnya kepada wartawan usai rapat paripurna.
Dari tambahan Rp17,3 miliar itu, sekitar 75 persen dialokasikan untuk biaya perjalanan dinas DPRD. Umar menilai kebijakan tersebut janggal karena dalam APBD Perubahan 2025 masih ada OPD yang tidak memperoleh alokasi anggaran memadai.
“Bukan hanya OPD yang tidak kebagian, rakyat juga tidak mendapat porsi yang sepadan. Tapi wajar saja, rakyat tidak bisa protes. DPRD kan dipilih rakyat, jadi kebijakan DPRD dianggap kebijakan rakyat pula,” sindirnya.