Oleh: Ario Gumohung, Ketua Bidang Pembinaan Aparatur Organisasi
Himpunan Mahasiswa Islam(HMI) Cabang Gorontalo.
Kontras.id, (Opini) – Pada sebuah forum yang seharusnya menjadi ruang refleksi dan silaturahmi kader-kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), sebuah pernyataan kontroversial justru menyebutkan tokoh senior sekaligus politisi nasional, Muhaimin Iskandar.
Dengan nada retoris, ia menyatakan: “Tidak ada kader PMII yang tidak tumbuh dari bawah. Kalaupun ada kader yang tidak tumbuh dari bawah, itu bukan PMII. Pasti itu HMI.” Pernyataan ini sontak menimbulkan gelombang pertanyaan, mengecewakan, bahkan kritik dari berbagai kalangan, termasuk dari internal PMII sendiri.
Bila pernyataan ini dibaca sekilas, mungkin akan terdengar sebagai bentuk kebanggaan terhadap sistem kaderisasi yang telah dibangun PMII selama ini. Namun bila direnungi secara lebih dalam, justru pernyataan tersebut mengandung nada diskreditif, eksklusif, bahkan substansi organisasi lain yang juga memberikan kontribusi besar dalam sejarah pergerakan mahasiswa Islam di Indonesia.
Narasi “tumbuh dari bawah” seolah diposisikan sebagai satu-satunya parameter keabsahan seorang kader. Ini adalah bentuk penyempitan makna kaderisasi, yang seharusnya tidak hanya dilihat dari “dari mana ia berasal,” tetapi yang lebih penting lagi: bagaimana ia menginternalisasi nilai-nilai, bagaimana ia berpikir, bergerak, dan memberikan kontribusi nyata bagi umat dan bangsa.
Ada banyak kader PMII nasional yang masuk di tingkat komisariat, cabang, bahkan langsung aktif di tingkat dan semua memiliki hak dan nilai yang sama di hadapan organisasi selama mereka berproses dengan integritas.
Pernyataan itu menimbulkan stigmatisasi dan identitas yang tidak sehat antara PMII dan HMI. Kalimat “Pasti itu HMI” bukan hanya bentuk pelabelan kosong, tetapi juga menunjukkan adanya subteks perpecahan, seolah HMI adalah representasi dari mereka yang tidak melalui proses kaderisasi yang ideal. Ini bukan hanya tidak berdasar, tapi juga berbahaya secara ideologis, karena menciptakan jarak yang semakin melebar antara dua organisasi mahasiswa Islam terbesar di Indonesia yang seharusnya berdiri berdampingan dalam ikhtiar persahabatan dan keumatan.
Pernyataan itu justru secara tidak sadar mengingkari sejarah PMII itu sendiri. Kita tidak boleh lupa bahwa Mahbub Djunaidi, tokoh besar yang menjadi Ketua Umum pertama PB PMII, adalah kader HMI sebelum akhirnya mendirikan PMII pada tahun 1960. Maka jika kita mengikuti logika Muhaimin, apakah berarti Mahbub Djunaidi bukan kader sejati PMII karena tidak “tumbuh dari bawah” di dalam organisasi itu sendiri? Ini adalah kontradiksi historis yang sangat fatal.
PMII lahir bukan sebagai antitesis semata dari HMI, tetapi sebagai wujud kemandirian ideologi dan kultural santri serta mahasiswa Nahdlatul Ulama yang ingin mewadahi aspirasi keislaman dan kebangsaan mereka secara khas. Maka menempatkan HMI sebagai lawan dikotomis adalah bentuk kegagalan dalam memahami semangat lahirnya PMII itu sendiri. PMII bukanlah organisasi elitis yang menilai kader dari garis start-nya, tapi dari proses dan pengabdiannya.
Muhaimin adalah tokoh politik yang berasal dari rahim PMII. Tetapi ketika seorang alumni baru saja melontarkan narasi yang eksklusif, elitis, dan cenderung mendukung organisasi lain, maka patut dipertanyakan: siapa sebenarnya yang tidak tumbuh dari bawah? Akankah seorang kader sejati akan terjebak dalam konflik horizontal antar organisasi seiman dan sebangsa?
Pernyataan ini mencakup satu hal penting: bahwa sebagian elite politik kita masih membawa pola pikir sektarian dan feodalistik ke ruang-ruang yang seharusnya menjadi tempat penguatan nilai dan kolaborasi. Bukannya memperkuat gerakan mahasiswa, justru membuat sekat-sekat semu yang menghambat persatuan dan sinergi.
Gerakan mahasiswa Islam hari ini membutuhkan narasi baru narasi yang tidak lagi terjebak dalam glorifikasi organisasi dan rivalitas yang sempit. PMII dan HMI seharusnya berdiri di garis depan sebagai mitra dalam membangun bangsa, bukan terjebak pada persaingan identitas yang semu.
Kritik terhadap pernyataan Muhaimin bukan semata-mata tentang PMII atau HMI, melainkan tentang cara berpikir yang harus berubah: dari sektarian menjadi kolaboratif, dari eksklusif menjadi inklusif, dari nostalgia menjadi transformasi. Sebab gerakan ini tidak dilahirkan hanya untuk mengklaim siapa yang tumbuh dari bawah, tapi siapa yang siap turun ke bawah, mengabdi, menyatu dengan rakyat, dan memperjuangkan keadilan sosial dalam arti yang sebenar-benarnya.