Kontras.id, (Gorontalo) – Aksi ‘premanisme’ yang diduga dilakukan oleh Karo Ops Polda Gorontalo, Kombes Pol. Tony E.P. Sinambela, terhadap seorang jurnalis Rajawali Televisi (RTV) saat meliput unjuk rasa di Polda Gorontalo kembali menjadi sorotan.
Kali ini, aktivis Gorontalo, Man’uth M. Ishak ikut angkat bicara. Ia mendesak Kapolda Gorontalo untuk tidak berhenti pada permintaan maaf belaka, tetapi mengambil langkah nyata.
“Kapolda jangan hanya minta maaf kepada jurnalis atas tindakan premanisme yang dilakukan oleh anggotanya,” tegas Man’uth kepada Kontras.id, Kamis 26/12/2024.
Man’uth menilai pernyataan permintaan maaf Kapolda kepada para jurnalis mencerminkan rasa frustrasi terhadap pola kepemimpinan yang dianggap minim ketegasan dalam menghadapi anggotanya sendiri.
Kendati menurut Man’uth, aksi premanisme yang ditunjukkan oleh oknum Kombes tersebut sebagai pelanggaran etik dan pelanggaran hak jurnalis yang dijamin oleh undang-undang.
“Dalam kejadian tersebut, banyak juga saudara kami bahkan pimpinan badan eksekutif mahasiswa di tingkat universitas jadi korban ke tidak manusiawi oleh anggota kepolisian,” ujar mantan Koordinator Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Provinsi Gorontalo ini.
Baca Juga: Kombes di Polda Gorontalo Berlaga Bak ‘Preman’, Jurnalis Mengadu ke Mabes Polri
Menurut Man’uth, evaluasi menyeluruh terhadap Standard Operating Procedure (SOP) pengamanan unjuk rasa menjadi hal yang mendesak. Ia menekankan bahwa baik peserta aksi maupun jurnalis memiliki perlindungan hukum yang jelas, sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum dan Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
“Saat ini, rasanya SOP pengamanan lebih terlihat sebagai ‘lisensi premanisme’ daripada protokol resmi,” sindir Man’uth.
Man’uth merujuk pada sejumlah peraturan, termasuk Peraturan Kepolisian No. 6 Tahun 2009 dan No. 12 Tahun 2011, yang seharusnya menjadi panduan profesional aparat, tetapi malah terkesan diabaikan.
“Pertanyaannya, jika undang-undang sudah sedemikian rinci, mengapa pelanggaran ini terus terjadi? Apakah undang-undang tersebut hanya menjadi pajangan hukum tanpa implementasi yang nyata? Atau lebih parah lagi, apakah ada budaya permisif terhadap tindakan yang mengarah pada pelanggaran hak-hak warga negara?” ucap Man’uth.
Mantan Presiden BEM Universitas Gorontalo ini turut menyoroti lemahnya mekanisme pengawasan internal di tubuh kepolisian, khususnya di Polda Gorontalo.
“Kita butuh reformasi yang nyata, bukan sekadar pernyataan maaf yang sudah jadi template setiap ada insiden,” tandas Man’uth.