Oleh: Dr. Funco Tanipu. ST., M.A
Kontras.id, (Opini) – Bagi anggota DPR/DPD RI asal Gorontalo yang baru dilantik, semoga amanah. Semoga tidak lupa pada janji, tidak abai pada harapan rakyat. Setiap dari mereka mewakili ruh orang Gorontalo, bukan hanya “suara”.
Kenapa disebut ruh? Sebab, setelah pemilih menjatuhkan pilihan dan mencoblos wajah atau nomor urut caleg lalu, setelah itu mereka (rakyat) hanya bisa memimpikan harapan mereka bisa terwujud dalam satu periode, atau harus menunggu dalam beberapa periode.
Setiap dari masing-masing yang dilantik akan mengemban amanah dan tugas yang tidak ringan. Setiap dari mereka telah memiki pengalaman dan rekam jejak kinerja. Ada yang baru masuk senayan dan ada juga yang sudah lama di Senayan.
Tiga Baru, Empat Petahana
Rusli Habibie baru kali ini masuk Senayan, ia mewakili Partai Golkar. Posisi Rusli sebagai mantan Gubernur pasti tahu betul apa yang “kurang” dari dua periodenya selama memimpin Gorontalo. Ia pun tahu bagaimana power Senayan dalam menopang anggaran ke daerah. Sebagai elit lama di Golkar, Rusli hapal “jalan tikus” di Senayan untuk melobi anggaran. Dua periode ia memiliki pengalaman itu. Rusli tahu betul bagaimana perilaku elit Jakarta, bagaimana ia bisa meraih anggaran termasuk program strategis untuk Gorontalo. Ia tak sungkan-sungkan dengan gayanya yang apa adanya untuk bisa menggolkan cita-citanya. Bisa kita lihat selama dua periode dia memimpin Gorontalo, program infrastruktur yang dia bangun berkat dukungan Senayan dan gaya politik khas dirinya. Karena itu, jika ia bisa maksimal di Senayan, harapannya yang belum tercapai bisa ia realisasikan.
Syarief Mbuinga pun demikian, dua periode selama memimpin Pohuwato adalah bekal penting bagi dirinya untuk bisa sukses di Senayan. Ia tahu betul bagaimana bisa berkomunikasi dengan elit lain di DPD RI. Sebagai “representasi” Pohuwato-Boalemo, Syarief tentu saja diharapkan bisa memperkecil angka kemiskinan Pohuwato dan Boalemo melalui program strategis yang bisa dia lobby. Walapun fungsi dan kewenangan DPD RI yang terbatas, tapi Syarief sebagai “orang Golkar” mesti memaksakan diri untuk bisa memperlihatkan kinerjanya yang maksimal.
Yasin Dilo juga sama, walaupun ia orang baru di Senayan, dia bukan orang baru di “Jakarta”. Sebagai alumni Jakarta, ia pasti tahu kepada siapa dan bagaimana ia bisa mengkomunikasikan aspirasi rakyat Gorontalo. Ia sebagai “representasi” PKS, tentu bisa melalui jejaring PKS di DPR untuk bisa membantu dirinya.
Selain ketiga nama diatas, ada empat nama lainnya yang sudah berkecimpung di Senayan.
Elnino Mohi sudah masuk periode keempatnya di Senayan, pada periode 2014-2019 dan 2019-2024 berada di beberapa komisi di DPR RI, dan sebelumnya pada periode 2009–2014 berada di DPD RI. Selama berada di Senayan, program Elnino yang paling “kedengaran dan diingat” adalah mendistribusikan program beasiswa dari Kemendikbud.
Fadel Muhammad yang terpilih lagi menjadi anggota DPD RI memasuki periode ketiga di Senayan, sebelumnya bertugas di DPR RI. Fadel sendiri selama di DPD RI lebih banyak datang ke Gorontalo bersama mitra-mitra untuk melakukan sosialisasi ataupun membagi-bagikan program Kementrian atau BUMN. Hal yang sama juga dilakukan oleh Rachmad Gobel yang memasuki periode kedua, sayangnya periode kali ini Rachmad Gobel bukan lagi sebagai Wakil Ketua DPR RI. Entah bagaimana nasib Fadel Muhammad di MPR RI kedepan, apakah masih sebagai Wakil Ketua atau seperti apa. Nama terakhir adalah Rahmijati Jahya yang sudah memasuki periode keempat di DPD RI. Rahmi sendiri terpilih ulang-ulang karena selain warisan basis pemilih dari almarhum suaminya, ia juga rajin ke basis-basis tersebut. Walaupun program dan kinerja Rahmi sendiri jarang terdengar.
Dari ketujuh nama tersebut, Elnino dan Rahmiyati Yahya yang terlama di Senayan, keduanya sudah hamper 20 tahun di Senayan. Fadel hamper 15 tahun. Rachmad akan memasuki 10 tahun.
Menagih Janji
Yang menjadi pertanyaan menarik adalah apa agenda dan janji mereka lalu selama kampanye? Dan bagi yang telah duduk di Senayan baik satu atau dua periode, tiga bahkan empat periode, apa yang telah mereka lakukan selama ini? Apa pula yang tidak sempat mereka lakukan? Adakah janji-janji mereka yang tidak bisa mereka kerjakan? Karena apa? Apa sebab mereka tidak bisa mengerjakan janji dan amanah itu?
Tentu setiap yang telah duduk selama satu atau dua periode bahkan tiga dan empat periode, masing-masing memiliki alasan, dan tentu saja harus mencari-cari alasan untuk menjawab itu. Tapi, walaupun ada janji dan amanah yang tidak sempat mereka tunaikan, namun rakyat telah memilih mereka untuk kali kesekian, dengan harapan yang terus bertambah disertai kekecewaan yang terus berulang.
Memang, problem bagi legislatif adalah soal mekanisme pengawasan. Pengawasan bagi legislatif berbeda dengan pengawasan bagi eksekutif. Eksekutif harus menyampaikan janji dan visi-misi dalam dokumen perencanaan, lalu harus menyeimbangkan hal itu dengan kondisi fiskal daerah, harus menentukan skala prioritas yang harus dibiayai.
Eksekutif juga harus mengerjakan janji mereka dalam empat triwulan dengan konsekuensi pengawasan dari banyak lembaga terkait seperti BPK, BPKP, Ombusdman, PPATK, Kejaksaan, Kepolisian hingga KPK. Secara periodik, eksekutif harus menyampaikan laporan kinerja kepada lembaga-lembaga pengawasan termasuk DPR/DPRD. Belum ditambah dengan pengawasan dari masyarakat.
Hal ini agak berbeda dengan pengawasan kinerja legislatif. Bahwa ada aturan untuk pengawasan kinerja, namun hampir tidak mekanisme yang maksimal untuk penegasan bagi anggota legislative tersebut agar bisa maksimal kinerjanya. Semua terangkum secara kolektif.
Bahwa misalnya ada anggota parlemen yang tidak pernah menyala lampu microphone selama satu periode alias tidak perna menyampaikan aspirasi rakyat, hal tersebut dianggap “lumrah” dan “normal”. Sebab, hal ini bukan sebagai alasan untuk mengganti antar waktu bagi si anggota tersebut. Apalagi hanya soal janji kampanye.
Seringkali juga ada alasan soal jatah komisi yang “basah” dan “kering”. Bagi yang berada di komisi “basah”, tentu akan banyak yang ia bisa layani dan lakukan. Tapi bagi yang berada di komisi “kering”, tentu perlu upaya yang tidak biasa dan upnormal untuk bisa memperlihatkan “kinerja” pada rakyat. Walaupun hal tersebut bukan jadi alasan. Bagi rakyat, “pokoknya ngana torang so pilih, dan harus ada yang ngana mo beken!”.
Sebagai lembaga representasi “suara”, tentu yang diharapkan bukan hanya “suara” anggota legislatif saja. Apalagi jika “suara” yang dimaksud adalah pernyataan di media. Bagi mereka, yang dibutuhkan adalah kerja-kerja taktis-strategis.
Pada konteks Gorontalp kekinian, sinergi antar wakil Gorontalo di Senayan diharapkan bisa maksimal. Untuk catatan sejarah sebelumnya, terlihat bahwa setiap wakil Gorontalo di Senayan berjalan sendiri-sendiri. Antara si a dan si b tidak saling padu, bahkan saling menjatuhkan, hingga saling klaim kerja untuk Gorontalo “saya yang usahakan ini, bukan dia”.
Padahal, kebutuhan Gorontalo saat ini adalah bagaimana wakil rakyat di Senayan bisa membantu maksimal pembangunan di Gorontalo. Sebagai contoh misalnya bagaimana semua wakil di Senayan secara kolektif mengupayakan tambahan dana alokasi khusus bagi kabupaten/kota dan provinsi. Termasuk mengupayakan program-program strategis dengan mitra komisi yang mereka tempati agar bisa dilaksanakan di Gorontalo.
Kinerja DPR Mengecewakan, Kinerja DPD Kosong
Harapan yang tinggi pada anggota parlemen di Senayan baik DPR maupun DPD memang sangat tinggi. Ekspektasi rakyat Gorontalo pada tujuh nama ini begitu besar. Nampak saat gegap gempita setelah pelaksanaan Pemilu yang baru lalu.
Namun, harapan tersebut seakan terlihat pesimis jika dibandingkan dengan kinerja DPR dan DPD periode 2019 – 2024 dalam beberapa studi lembaga pengawasan parlemen dan laporan media, terlihat bahwa rekam jejak kinerja DPR maupun DPD sangat rendah.
Indonesian Parliamentary Center (IPC) misalnya mencatat bahwa dalam pelaksanaan fungsi pengawasan sepanjang periode lalu hanya 37% rekomendasi rapat pengawasan DPR yang ditindaklanjuti oleh pemerintah. Sisanya, 67% rekomendasi DPR tidak ditindaklanjuti oleh Pemerintah.
Terhadap fungsi pengawasan terhadap isu-isu yang menjadi perhatian masyarakat. DPR periode 2019-2024, membentuk total 50 panja untuk fungsi pengawasan bersifat overview. Adapun dalam sifat oversight atau pengawasan yang mendalam dan menyeluruh, DPR hanya membentuk satu pansus angket: yakni soal pelaksanaan ibadah haji. Itupun terlihat bagaimana drama politik dibalik pembentukan pansus haji.
Dalam catatan yang lain terhadap kinerja fungsi pengawasan oleh DPR RI, terlihat keterlibatan masyarakat dalam proses pengawasan DPR juga masih terbatas. DPR belum optimal memanfaatkan masukan dari masyarakat terkait isu-isu strategis yang diawasi. Catatan IPC menunjukkan bahwa aspirasi dari masyarakat sipil yang diserap sebanyak 256 dari total 576 aspirasi. Sedangkan dari kalangan akademisi cuma 99 yang diserap dari total 209 aspirasi. Namun, jika dilihat dari aspirasi kalangan pengusaha, hampir semua aspirasi justru diserap DPR, yakni 300 dari 309 aspirasi.
Hal yang sama juga terlihat dalam kinerja pengawasan DPR RI pada proses pengangggaran yang kurang kritis terhadap apa yang diajukan pemerintah. Termasuk lemah dalam pengawasan terhadap pelaksanaan UU. Dalam hal lain, terkait UU MD3 dan Tatib, untuk menindaklanjuti temuan-temuan hasil pemeriksaan BPK terhadap Kementrian/Lembaga sangat minimal.
Itu baru kinerja pengawasan secara keseluruhan, bagaimana kinerja pengawasan bagi anggota DPR dan DPD RI asal Gorontalo pada periode 2019-2024 yakni Rachmad Gobel, Elnino Mohi, Fadel Muhammad dan Rahmiyati Jahya?
Dalam studi Formappi, terlihat bahwa DPR periode 2019 – 2024 adalah instansi dengan kepatuhan penyerahan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang rendah, nilainya hanya berkisar sekitar 55 % (tahun 2021).
Di sisi lain, anggaran anggaran DPR selalu naik tiap tahun. Pada APBN 2015, alokasi anggaran untuk DPR mencapai Rp. 3,598 triliun, dan tahun 2019 sebesar Rp. 5,7 triliun. Pada APBN tahun 2025, total anggaran DPR RI naik hampir dua kali lipat menjadi sebesar 9.25 triilun rupiah.
Jika mereview kinerja legislagi bagi periode 2019 -2024 yang hanya menghasilkan 48 Undang-undang dari total 225 RUU yang telah disahkan pada Proglenas. Jumlah tersebut ternyata masih jauh dari daftar program legislasi nasional (Prolegnas) tahun 2020-2024 yang disepakati melalui Rapat Paripurna ke-5 Tahun Sidang 2019-2020, yakni sebanyak 248 RUU.
Bagi Formappi, DPR RI periode 2019 – 2024 adalah kinerja terburuk DPR RI. Keburukan itu antara lain yakni produk legislasi sangat sedikit, pemborosan anggaran, beberapa diantara produk legislasi malah bermasalah dan masuk judicial review. Faktor kinerja buruk tersebut dikarenakan antara lain oleh banyaknya anggota parlemen yang absen saat pembahasan di DPR, pembahasan RUU yang berlarut-larut, defisit staf ahli yang memiliki kompetensi, tata kelola DPR yang tidak maksimal dan komitmen partai politik dalam mendorong anggotanya yang lemah.
Hal yang sama pula terjadi di DPD RI, dengan anggaran sebesar 1 triliun per tahun pada periode sebelumnya dan rencana bertambah menjadi 1.6 triliun pada tahun 2025.
Bila dirinci dalam prolegnas prioritas tahunan, RUU usulan DPD prosesnya paling jauh hanya sampai tahap pembahasan, tanpa sekalipun pernah disahkan menjadi undang-undang. Dalam lima tahun terakhir, yakni pada 2017-2022, misalnya, DPD hanya mengusulkan lima RUU. Namun tidak satu pun yang berhasil disahkan menjadi undang-undang.
Dari berbagai data menunjukkan bahwa DPD hanya menyumbang empat rancangan undang-undang dari total 55 rancangan undang-undang dalam prolegnas tahun 2019. DPD hanya menyumbang empat di antaranya, yakni tentang bahasa daerah, ekonomi kreatif, wawasan nusantara, dan daerah kepulauan. Dibandingkan menghasilkan kinerja, DPD hanya menghabiskan masalah pada friksi internal mengenai pergantian pimpinan.
Menegaskan Amanah
Kita sebagai rakyat tentu memiliki harapan dan imajinasi bahwa ketujuh wakil di Senayan ini memiliki “taring” yang kuat. Bisa mengimbangi nama-nama besar yang sudah ada di parlemen senayan.
Pada periode DPR atau DPD yang sebelum-sebelumnya, beberapa anggota parlemen dari daerah lain mendapat nilai yang baik di mata publik. Mereka bisa tampil maksimal dalam posisi sebagai anggota legislatif. Di daerahnya masing-masing, pemilihnya menyatakan tidak sia-sia telah memilihnya.
Hal ini tentu dirindukan oleh rakyat Gorontalo bagi ketujuh nama yang ada di Senayan saat ini. Tentu dengan pola dan metode yang tidak harus sama seperti mereka-mereka anggota legislatif yang membanggakan pada periode lalu. Banyak cara dan metode untuk “bertanggungjawab” pada ruh rakyat Gorontalo.
Karena itu, periode lima tahun kedepan, yakni 2024-2029, adalah periode pertanggung jawaban pada ruh rakyat Gorontalo. Bukan pada suara rakyat, baik itu yang telah dipilih ratusan ribu, maupun puluhan ribu.
Orang seperti Fadel Muhammad, Rusli Habibie dan Rachmad Gobel bisa saja periode ini adalah periode terakhir karena persoalan usia yang pada tahun 2029 ketiganya sudah memasuki usia 70 an tahun. Hal yang sama bagi Elnino Mohi dan Rahmiyati Jahya yang sudah memasuki waktu 20 tahun di Senayan, tentu mereka akan berpikir-pikir berulang-ulang untuk terus bertahan di Senayan.
Tentu saja, bagi kelima orang tersebut, periode terakhir ini mesti serius dan fokus. Harus ada legacy pada periode terakhir ini, tanpa itu mereka akan dikecam dan dijadikan contoh sejarah yang buruk bagi semua generasi akan datang. Bahwa akan ada pembenaran-pembenaran terkait dengan kinerja mereka; “so beken ini, beken itu, bangun ini dan sebagainya”. Tapi secara sederhana, bisa terlihat dari minimnya intervensi mereka pada struktur pertambahan anggaran pada tiap daerah di Gorontalo. Bahwa mereka sibuk bekerja, tapi itu baru hanya bagian dari rutinitas formal belaka. Gorontalo butuh sesuatu yang luar biasa, butuh tiga kali dari yang sekedar rutin-formal tersebut.
Kesemuanya mesti melakukan yang bersifat extra ordinary karena banyak yang kurang dan bolong-bolong di Gorontalo saat ini. Gorontalo dilingkupi masalah yang bersifat extra ordinary pula.
Amanah yang akan mereka pikul pada periode 2024-2029 adalah harapan nyawa dan jiwa. Ini bukan persoalan elektoral lagi. Apalagi soal bagaimana memanfaatkan posisi di Senayan untuk kemudian mencoba peruntungan pada pemilihan eksekutif, apa itu bupati/walikota atau gubernur nanti. Bukan itu. Ini soal pembuktian janji.
Tentu bagi di antara mereka bertujuh ada yang bercita-cita masuk ke kamar eksekutif pada periode berikut, itu soal yang lumrah. Namun, buktikan dulu apa yang telah diperbuat, apa karya yang telah dicetak, dan apa yang telah membuat rakyat Gorontalo bangga.
Dan, bisa saja, jika taka da lagi harapan bagi ruh serta jiwa-jiwa Gorontalo kepada mereka bertujuh, maka hidup harus terus dijalani. Bukan dengan terus berharap tanpa kepastian, tapi bagaimana mengelola kekecewaan yang terus berulang sehingga kita tidak mewariskan generasi yang pesimis.
Tentu saja, selain memaksakan dan menagih agar mereka bisa lebih keras lagi bekerja, kita mesti selipkan sekuntum doa, agar mereka bertujuh bisa amanah, tidak lupa pada janji. Atau bagi yang tidak pernah berjanji, lakukanlah apa yang tidak membuat ruh-ruh rakyat Gorontalo menyesal telah memilih.
Penyesalan ruh itu tentu akan berkonsekuensi pada diri masing-masing. Dalam bahasa Gorontalo disebut “alo lo janji”, dan disambung “mapilo tatadiyawa lo rakyati”, sehingga pada akhirnya bukan mencetak “ilomata” yang bisa diraih, tapi “pohumato” yang akan didapatkan. Semoga setiap dari mereka terberkahi selalu, agar dijauhkan dari yang disebut “pohumato”.