Oleh : Zulkarnain Musada (Mahasiswa Pascasarjana Universitas Bosowa)
Kontras.id (Opini) – Bakarlota bahasa dialek Gorontalo dan Sulawesi Utara. Karlota bisa diartikan ‘bicara’, ngegosip, nguping. Sedangkan Bakarlota dapat ditafsirkan kegiatan dari ‘karlota’; berbicara, bergosip, menguping. Kegiatan yang biasa dilakukan masyarakat pedesaan. Namun sekarang hal itu sudah menjalar ke warga perkotaan. Tempatnya entah di posko-posko, dego-dego, selasar masjid, teras rumah sampai di dapur, bahkan penjual sayur dan rempah-rempah keliling bisa menjadi lokasi paling strategis untuk ‘bakarlato’, utamanya kaum perempuan dan ibu-ibu. Atau dimana pun yang dipandang nyaman untuk mempercakapkan banyak hal.
Objek percakapannya tidak ditentukan temanya terlebih dahulu seperti biasa dilakukan orang-orang kampus yang sering mendaku ilmiah. Atau isu-isu debat dan FGD seperti di ruang televisi, dari mata Najwa sampai Indonesia Lawyers Club (ILC). Tema Bakarlota semuanya mengalir bahkan pembicaraan bisa beralih dalam hitungan detik. Tak ada moderator, pemateri atau keynote speaker (pembicara utama) semua orang bisa menjadi siapa, tidak peduli jabatan dan gelar yang dimilikinya. Paling penting jangan mudah tersinggung (maraju), jumawa (baraba/ba’aja) kalau istilah milenial “jangan baperan” itulah prasyarat utama dalam gelanggang Bakarlota.
Saat sedang serius berbincang isu-isu terkini Gorontalo Utara dari Hak interpelasi, Mohinggito, Minanga, Pramuka, dan saling lapor pejabat sampai bencana banjir, tiba-tiba tema bisa berpindah mendiskusikan seorang perempuan janda bisa hamil dan melahirkan dalam waktu satu jam. Bahkan tema bisa mendiskusikan seorang tetangga yang barusan lewat dengan mobil barunya.
Dalam ruang Bakarlota bukan hanya temanya yang lintas batas, tetapi juga cara penyampaiannya dilakukan dengan sangat santai. Cara duduknya juga sangat heterogen terbentang mulai dari yang bersila, jongkok, berdiri, tengkulak (bapalaka), bahkan seringkali sebagian sambil mengupil, buang hingus di area ‘karlota’ dan juga “ba garo-garo talinga dan anggota tubuhnya lainnya”. Sepenting dan segenting apapun persoalan semua diselesaikan dengan gelak tawa. Tentu tak ketinggalan menu makanan dan minumannya hampir tak terlewatkan jejeran gelas teh, mangkuk kopi dikelilingi sepiring gorengan pisang, ubi-ubian dan cemilan dalam bentuk kemasan.
Suasana Bakarlota yang informal dan penuh humor mengingatkan saya pada tesis filsuf Johan Huizinga (1872-1945) dalam Homo Ludens; a Study of Play Element in Culture yang menyebut manusia sebagai mahluk bermain (homo ludens). Tentu permainan itu tidak identik dengan pembicaraan yang main-main tapi justru mereka “menertawakan” perihal yang dipandang serius dengan logika main-main. Segenap hal didekati dengan cara riang. Mereka paham bahwa dunia adalah medan “senda gurau”.
Jika setiap pemerintah daerah mempunyai mimpi meningkatkan indeks kebahagiaan warga, maka salah satu salurannya perbanyaklah tempat Bakarlota yang inklusif, manusiawi, non-diskriminatif, nyaman dan mengupayakan Bakarlota sebagai ruang BUTA; budayakan data. Serta ikhlas ditengah-tengah masyarakat. Ikhlas ini harus digarisbawahi sebab ada banyak penguasa yang selalu programnya itu dianggap belum optimal sebelum menempelkan wajah dirinya bahkan lengkap dengan istrinya kalau perlu dipampang pada baliho yang ditancapkan di setiap sudut area termasuk jalan menuju pekuburan.
Lebih penting menyediakan tempat Bakarlota ketimbang memperbanyak kursi rapat DPRD dan kursi rapat pemerintah daerah. Kursi yang sejatinya digunakan sebagai bukti kehadiran, justru dijadikan sebagai tempat melepaskan hasrat kekuasaan. Kursi yang dipertaruhkan lewat kepercayaan, malah diabaikan karena sudah nyaman di atas empuknya gaji dan tunjangan.
MURBAlisme
Bakarlota sesungguhnya menjadi jejak kultural yang melambangkan sisi kaum murba masyarakat kita, khususnya di pedesaan di mana hidup belum dicetak seperti mesin. Menjadi pertahanan budaya untuk satu sama lain saling mengakrabkan diri dan berbicara lebih intim. Tanpa harus diceramahi khutbah keagamaan pentingnya ukhuwah atau pidato politik mengenai pentingnya merawat persatuan, mereka sesungguhnya telah menjadi “kekitaan” itu sebagai bagian dari panggilan hidupnya, kebersamaan sebagai sesuatu yang tak terpisahkan dari pengalamannya.
Pada intinya pula Bakarlota lengkap dengan imperatifnya yang meliputi sikap empatik, solidaritas, hospitalitas, keterbukaan, yang sesungguhnya melambangkan miniatur bernegara yang semestinya diwujudkan. Negara, seperti dalam nalar Bung Karno, hanya akan memastikan kehadirannya yang sempurna dengan memberikan kesejahteraan kepada khalayak manakala penduduknya menginternalisasikan nilai-nilai gotong royong. Dan gotong royong itu pintu masuknya adalah “Bakarlota”. Pancasila, kata Bung Besar itu, dapat dipadatkan menjadi satu sila yaitu gotong royong. Ini juga mungkin diawal reformasi yang menjadi alasan utama PDIP atas inisiatif warga membangun “posko dan dego-dego” dibanyak tempat dan kemudian membuat partai itu keluar sebagai pemenang.
Bagi saya “posko dan dego-dego” itu bukan sekedar bangunan sederhana yang terbuat dari bambu atau kayu, tetapi belakangnya terhampar makna ideologis lengkap dengan imajinasi masyakarat tentang “daerah yang diimpikan” sekaligus keharusan elit politisi dan birokrasi lebih banyak mendengar isi pembicaraan dibalik posko dan dego-dego.
Gorontalo Utara lahir bukan sebagai wadah politik untuk memanggungkan aspirasi kaum aristokrat dan kerumunan politisi juga birokrasi, tapi tentang suara arus bawah yang harus disimak dan kemudian diartikulasikan dalam wujud kebijakan yang memihak pada mereka. Bukan justru memahat mereka pada arus penghidupan yang serba sulit. Janji-janji politik harus diutamakan, daripada kongkalikong balas jasa politik.
Maka disini, pentingnya kaum politisi dan birokrasi ikut terlibat dalam gelanggang Bakarlota. Pentingnya mereka lebih menggunakan telinganya daripada mulutnya, bahkan sebagai informasi “bantahan” terhadap pemberitaan media seputar berita elektabilitas, popularitas dan sukses tidaknya program yang dijalankan. Reses, blusukan dan ‘sidak’ turun lapangan yang sering diisi bukan sekedar membagikan sembako, sarung, jilbab, kaus bahkan rupiah tapi ikut dalam majelis Bakarlota sebagai bagian dari warga pedesaan. Bukan sebagai narasumber tapi peserta yang semuanya sama-sama memiliki hak untuk berbicara secara sama.
ARENA SOSIAL
Saya tidak mengatakan bahwa Bakarlota sebangun dengan arena sosial yang dibayangkan Jurgen Habermas, tapi minimal surplus sosial bangunan arena sosial itu telah berwujud. Media untuk membagi cerita itu dengan segala kelebihan dan kekurangannya telah hadir. Bakarlota sebagai arena interkoneksi segenap warga hal dimana demokrasi dikemas secara sederhana dan mendapatkan legitimasi secara elegan.
Demokrasi tidak selalu dipikirkan bergerak dalam gaung narasi besar sebagai sirkulasi pemilihan lima tahunan ketika menentukan para pemimpin saja, tapi ia adalah ruh yang menyertai nafas harian kita. Demokrasi bukan ditentukan uang dan kekuasaan (oligarki) namun kekuatan hujjah, mentalitas positif, pemuliaan terhadap akal budi, sikap lapang, dan kesediaan untuk saling mendengarkan satu sama lain secara setara. Good life di Gorontalo Utara hanya dimungkinkan manakala kratos (pemerintahan) tidak diposisikan sebagai tujuan, tapi hanya cara untuk memastikan hadirnya daerah kesejahteraan, untuk meneguhkan demos (rakyat) mencapai keadaban karena hak-hak kehidupan sekaligus penghidupannya terjamin.(*).