Example floating
Example floating
DaerahOpini

Menilik Delik Penghinaan Terhadap Presiden Dalam RKUHP

×

Menilik Delik Penghinaan Terhadap Presiden Dalam RKUHP

Sebarkan artikel ini
Mohamad Said Alhamid
Foto : Mohamad Said Alhamid, Mahasiswa Universitas Islam Indonesia,(foto Istimewa).
Oleh : Mohamad Said Alhamid, (Mahasiswa BKU Pidana Pascasarjana Hukum Universitas Islam Indonesia dan Ketua Litigasi LBH Payu Limo Totalu).

Kontras.id, (Opini) – Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang memuat pasal penghinaan Presiden masih menuai kritik dari berbagai elemen masyarakat. Bahkan kini pro kontra ihwal munculnya delik penghinaan Presiden semakin menyeruak di tengah-tengah publik (in public) terutama media sosial.

Pada Pasal 218 dan Pasal 219 a quo, penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden dikategorikan ke dalam bab Tindak Pidana Terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden. Berdasarkan rumusan pasal tersebut, setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden termasuk menista dengan surat, memfitnah, dan menghina dengan tujuan memfitnah bisa dipidana maksimal 3,5 tahun. Adapun apabila tindakan penyerangan tersebut dilakukan melalui sarana teknologi informasi, maka ancaman hukumannya menjadi 4,5 tahun.

Rumusan pasal tersebut dianggap membatasi ruang kebebasan berpendapat dan berekspresi warga negara yang telah dijamin konstitusi bahkan dianggap mematikan semangat reformasi yang telah dirawat bertahun-tahun. Tak sedikit yang menilai bahwa dimunculkannya pasal penghinaan Presiden mendistorsi kehidupan berdemokrasi dan menunjukkan bahwa Pemerintah anti kritik.

Berangkat dari persoalan tersebut, penulis melihat bahwa mayoritas orang saat ini cenderung disibukkan dengan menganalisis rumusan delik dalam pasal penghinaan Presiden tersebut tentang bagaimana menginterpretasi antara perbuatan penghinaan dengan perbuatan mengkritik presiden atau wakil presiden dan menerapkannya dalam suatu kasus. Jarang sekali dijumpai diskusi tentang mengapa delik penghinaan Presiden tersebut dikriminalisasi dan apa justifikasi moral penetapan sanksi pidana terhadap rumusan pasal penghinaan Presiden.

Untuk sampai pada argumen kritik tersebut. Pertama, penulis bertolak dari hakikat penghinaan Presiden tersebut. Penghinaan Presiden pada hakikatnya merupakan perbuatan yang sangat tercela karena tidak sesuai dengan cara hidup masyarakat indonesia yang pluralis dengan segala keberagaman budaya lokal yang sudah ditanamkan oleh leluhur yang sarat dengan kesantunan sebagai orang Timur. Pun jika dilihat dari berbagai aspek antara lain moral (morality), agama (religion), nilai-nilai kemasyarakatan (social value), dan nilai-nilai hak asasi manusia atau kemanusiaan (human value), penghinaan merupakan perbuatan yang tercela karena dapat menyerang dan merendahkan kehormatan, harkat dan martabat kemanusiaan (menyerang nilai universal), oleh karena itu, Indonesia sebagai negara timur memandang penghinaan sebagai rechts delicten atau mala in se (sesuatu yang memang dari asalnya bersifat jahat), bukan mala prohibita, dan oleh karena itu pula patut untuk dikrimanilisir.

Kedua, memasukkan rumusan pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden dalam RKUHP masih tetap sangat relevan dengan model kebijakan kriminal yang sering dikenal dengan istilah ‘penal policy’, ‘criminal law policy’, atau ‘strafrechtspolitiek’ yang terkait erat dengan nilai-nilai sosio-filosofis, sosio-politis, dan sosio kultural bangsa indonesia.

Ada anggapan yang mengatakan bahwa rumusan pasal tersebut dianggap membatasi ruang kebebasan berpendapat dan berekspresi warga negara yang telah dijamin konstitusi bahkan dianggap mematikan semangat reformasi yang telah dirawat bertahun-tahun, sebetulnya adalah pernyataan yang sangat tidak mendasar karena karena kebebasan berpendapat (freedom of expression) bukanlah hak yang absolut. Kebebasan berpendapat (freedom of expression) pada dasarnya memang merupakan hak yang dimiliki oleh setiap individu yang dijamin oleh konstitusi, hal ini termuat pada Pasal 28 E ayat (3) bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Namun, harus diketahui bahwa jaminan untuk bebas berpendapat dan berekspresi sebenarnya dibatasi pada Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa yang dideklarasikan pada 10 Desember 1948 yang merupakan aturan tertulis pertama yang disepakati oleh dunia, yang menetapkan hak-hak dasar apa saja yang melekat pada diri manusia. Pada Pasal 29 ayat (2) DUHAM menegaskan bahwa setiap orang harus tunduk hanya pada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-Undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain dan untuk memenuhi persyaratan aspek moralitas, ketertiban dan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis. Artinya bahwa manusia sebagai makhluk beradab artinya pribadi manusia itu memiliki potensi untuk berlaku sopan, berakhlak dan berbudi pekerti yang luhur.

Oleh karena itu, anggapan yang mengatakan bahwa rumusan pasal penghinaan presiden dianggap membatasi ruang kebebasan berpendapat dan berekspresi warga negara serta mendistorsi kehidupan berdemokrasi seyogianya keliru dalam mempertimbangkan kaidah dari hak atas kebebasan berpendapat (freedom of expression) yang secara eksplisit telah melahirkan pendekatan liberal (bebas) terhadap makna hak atas kebebasan berpendapat (freedom of expression) itu sendiri. seharusnya kehormatan, harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden masih tetap wajib dilindungi oleh negara bukan melihat ini sebagai suatu bertentangan dengan prinsip equality before the law (keseteraan di muka hukum) atau suatu yang dinamakan kedaulatan rakyat atau kedaulatan masyarakat, karena Presiden dan Wakil Presiden tidak sama dengan warga masyarakat biasa. Seturut dengan itu, secara spesifik bahwa penghinaan terhadap kehormatan, harkat, atau martabat diri Presiden dan Wakil Presiden adalah persoalan martabat atau derajat kemanusiaan (human dignity) yang merupakan nilai yang harus dijunjung tinggi, juga penghinaan tersebut merupakan suatu perilaku menyimpang (deviant behaviour) yang ada dalam masyarakat. Pun apabila delik penghinaan presiden dihapus dan akhirnya oleh masyarakat dianggap hal yang biasa seperti di negara liberal seperti Amerika Serikat, maka sama juga dengan tidak menghormati nilai-nilai luhur Pancasila (nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan serta nilai keadilan) selaku staats fundamental norm sehingga Pancasila sebagai pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum maupun cita moral bangsa yang terlegitimasi secara yuridis.

Hal lain kenapa perlindungan secara khusus terkait kehormatan, harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia menjadi hal yang patut untuk diperhatikan, karena melihat sistem presidensial yang berlaku dan fungsi utama Presiden berdasarkan UUD NRI 1945, yaitu Presiden dan Wakil Presiden adalah kepala negara (head of state) dan Presiden dan Wakil Presiden adalah kepala pemerintahan (chief executive). Artinya Presiden dan Wakil Presiden adalah simbol sebuah bangsa dan negara yang berdaulat. Disamping itu Presiden dan Wakil Presiden melekat pada jabatannya kepentingan serta kekuasaan sebuah negara (the interests and power of a country), penting sekali untuk diatur tentang kehormatan, harkat dan martabatnya sehingga Pasal-Pasal yang berkaitan dengan penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden dalam RKUHP sama sekali tidak bertentangan dengan konstitusi jadi tidak perlu dipermasalahkan karena secara umum aturan tentang penghinaan terhadap kepala negara memang diperlukan dalam hukum yang akan datang (ius constituendum) sebagai solusi untuk menghadapi perbuatan pidana dikemudian hari akibat perkembangan hukum dan budaya hukum masyarakat yang terkontaminasi dengan kepentingan permisifisme.

Terakhir, pasal penghinaan terhadap presiden dalam RKUHP (vide Pasal 220) menjadi delik aduan absolut. Berarti delik hanya bisa diproses apabila ada pengaduan dari orang yang menjadi korban tindak pidana. Sehingga permohonan pemrosesan perbuatan pidana hanya dapat ditindaklanjuti oleh yang berwajib apabila didahului dengan pengaduan dari orang yang merasa dirugikan. Olehnya, menurut penulis pasal penghinaan Presiden dalam RKUHP tetap harus ada, karena sejauh ini banyak orang yang bertindak semena-mena. Ingat, bagaimana pun bobroknya kondisi pemerintahan di tangan seorang Presiden, melakukan penghinaan tetap tidak bisa dibenarkan. Kritiklah Presiden atas nama kinerja dan kebijakan.(*).

Share :  
Example 120x600