Kontras.id, (Gorontalo) – Aspirasi penolakan terhadap rencana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto semakin deras disuarakan kalangan kampus. Dari Universitas Gorontalo, Presiden BEM Erlin Adam mengatakan bahwa wacana tersebut berpotensi menyesatkan memori kolektif bangsa sekaligus mencederai nilai-nilai reformasi.
Erlin menegaskan bahwa pengusulan tersebut dapat mengaburkan fakta historis mengenai praktik kekuasaan Orde Baru. Ia menilai bahwa pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan mengabaikan penderitaan para korban pelanggaran hak asasi manusia dan membuka ruang lahirnya pembacaan sejarah yang keliru.
“Soeharto bukan simbol kepahlawanan, melainkan representasi dari kekuasaan yang menindas kebebasan rakyat. Jika negara memutihkan sejarah kelam Orde Baru, maka kita sedang menciptakan preseden amnesia sejarah nasional,” tegas Erlin kepada Kontras.id, Minggu 09/11/2025.
Ia juga menyoroti aspek hukum. Gelar Pahlawan Nasional, menurutnya, harus berpijak pada nilai moral, kontribusi konkret bagi kemerdekaan, serta integritas terhadap prinsip kemanusiaan sebagaimana diatur dalam Pasal 26 UU Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.
“Secara hukum, Soeharto tidak memenuhi kriteria itu. Ia memang berperan dalam stabilitas politik, tetapi stabilitas yang dibangun di atas represi, sensor, dan pelanggaran HAM bukanlah prestasi, melainkan tragedi sejarah,” ujar Erlin.
Erlin mengatakan bahwa dalam perspektif ilmiah, isu ini dapat dijelaskan melalui teori politik memori (politics of memory), di mana negara berupaya merekonstruksi citra tokoh masa lalu untuk kepentingan politik masa kini. Ia menyebut mekanisme tersebut sebagai proses “legitimasi simbolik” yang berbahaya karena menipiskan garis pemisah antara pelaku represi dan figur kepahlawanan.
“Kita tidak boleh membiarkan negara mengubah pelaku represi menjadi simbol heroisme. Ini bertentangan dengan teori keadilan transisional dan tanggung jawab moral bangsa,” jelas Erlin.
Erlin memastikan bahwa mahasiswa tidak akan tinggal diam apabila keputusan tersebut tetap dipaksakan. Ia menegaskan bahwa BEM Universitas Gorontalo bersama jaringan mahasiswa lintas kampus telah menyiapkan aksi besar tepat pada peringatan Hari Pahlawan 10 November.
“Jika suara akademik dan moral ini diabaikan, kami akan melaksanakan aksi demonstrasi secara terbuka. Ini bukan sekadar penolakan terhadap individu, tetapi perlawanan terhadap manipulasi sejarah bangsa,” kata Erlin.
Menurutnya, kritik terhadap wacana ini bukan didorong sentimen personal, melainkan kewajiban moral untuk menjaga objektivitas sejarah.
“Penilaian terhadap gelar kepahlawanan harus mempertimbangkan kontribusi bagi kemanusiaan dan demokrasi, bukan keberhasilan mempertahankan kekuasaan melalui tindakan represif,” tandas Erlin.














