Example floating
Example floating
Opini

Ketika Kepala Desa Ringan Tangan, Etika Pemerintahan Dipertaruhkan

×

Ketika Kepala Desa Ringan Tangan, Etika Pemerintahan Dipertaruhkan

Sebarkan artikel ini
Kades Aniaya Warga
Ilustrasi,(foto dok. AI/Kontras.id).

Oleh: Fajrin Bilontalo (Lulusan Fakultas Hukum Universitas Gorontalo).

Kontras.id, (Gorontalo) – Kekuasaan di tangan kepala desa adalah perpanjangan tangan negara yang paling dekat dengan rakyat. Ia bukan sekadar pejabat administratif, tapi juga simbol kepercayaan warga.

Maka, ketika seorang kepala desa melakukan kekerasan terhadap warga yang seharusnya ia lindungi, publik berhak bertanya: di mana batas antara kuasa dan arogansi?

Peristiwa dugaan penganiayaan yang dilakukan oleh Kepala Desa Buhu, Mohamad Daud Adam, terhadap seorang warganya bernama Dzakarian Hasan, membuka ruang diskusi yang dalam tentang etika kekuasaan.

Dalam keterangannya, kepala desa mengaku telah menampar Dzakarian, dengan dalih merasa tersinggung atas ucapan “janji palsu” yang dilontarkan korban.

Dzakarian sendiri bukan anak kecil. Ia sudah berusia 23 tahun, seorang pemuda yang berhak menyampaikan pendapat, bahkan kekecewaan, tanpa harus dibalas dengan kekerasan fisik.

Lebih dari itu, tindakan memukul di dalam ruang kantor desa, yang merupakan institusi resmi pemerintahan, adalah pelanggaran serius terhadap etika jabatan.

Secara hukum, Kepala Desa memang belum diberhentikan. Namun, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Permendagri Nomor 82 Tahun 2015, kepala desa bisa diberhentikan sementara jika diduga melakukan pelanggaran berat terhadap sumpah dan/atau janji jabatan.

Dalam konteks ini, tindakan kekerasan kepala desa terhadap warga bisa dikategorikan sebagai pelanggaran berat terhadap etika dan integritas pemimpin desa.

Selain itu, menurut Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Kepala Desa berkewajiban menjunjung tinggi etika dan norma dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Kekerasan fisik jelas melanggar norma itu.

Meskipun proses hukum sedang berjalan di Polsek Telaga, Bupati Gorontalo sebagai atasan langsung memiliki kewenangan untuk mengevaluasi jabatan Kepala Desa. Minimal, melalui rekomendasi dari Camat, kepala desa bisa diberhentikan sementara agar proses hukum tidak dicampuri oleh pengaruh kekuasaan.

Kasus ini tidak boleh dianggap sepele. Ia bukan hanya perkara emosional antara dua individu, tapi juga mencerminkan bagaimana seorang pejabat memperlakukan rakyatnya. Apakah kekuasaan masih digunakan untuk melindungi, atau justru telah bergeser menjadi alat represif terhadap kritik?

Jika tindakan seperti ini dibiarkan tanpa sanksi tegas, maka kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan desa akan runtuh. Kekerasan bukan solusi. Kepala desa bukan penguasa mutlak. Ia adalah pelayan masyarakat, yang seharusnya menjawab kritik dengan bijak, bukan dengan tamparan.

Kini, bola ada di tangan aparat penegak hukum dan Pemerintah Kabupaten Gorontalo. Masyarakat menanti: apakah keadilan akan ditegakkan, atau justru akan dikalahkan oleh loyalitas jabatan?

Share :  
Example 120x600