Example floating
Example floating
DaerahHeadlineOpini

Guyonan Cak Imin dan Marwah Organisasi

×

Guyonan Cak Imin dan Marwah Organisasi

Sebarkan artikel ini
Arya Waraga
Arya Waraga, Ketua Komisariat Hukum HMI Cabang Limboto,(foto Istimewa).

Oleh: Arya Waraga (Ketua Komisariat Hukum HMI Cabang Limboto)

Kontras.id, (Opini) – Belakangan ini, jagat maya kembali riuh oleh guyonan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Muhaimin Iskandar alias Cak Imin, saat pelantikan Pengurus Besar Ikatan Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (IKA PMII). Dengan gaya khas Nahdliyyin yang santai dan egaliter, beliau melontarkan guyonan: “Kalau ada kader PMII yang tidak tumbuh dari bawah, itu bukan PMII, itu pasti HMI.”

Sekilas, ini tampak seperti lelucon biasa. Namun, reaksi dari berbagai pihak, khususnya dari kader-kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), menunjukkan bahwa ucapan tersebut menimbulkan keresahan yang tidak sederhana.

Tulisan yang beredar di media sosial dari seorang kader PMII yang mencoba memaklumi, bahkan membela pernyataan Cak Imin, menyajikan narasi yang berusaha mengajak kita semua bersikap santai, berdamai dengan dinamika antar-organisasi, dan tidak larut dalam respons yang berlebihan. Namun demikian, perlu ditegaskan: bersikap dewasa bukan berarti membiarkan bias dan kekeliruan menjadi konsumsi publik tanpa klarifikasi. Inilah pentingnya menjaga marwah organisasi—bukan karena ego kelembagaan, melainkan sebagai wujud tanggung jawab terhadap pendidikan politik publik.

Dalam komunikasi publik, terlebih oleh seorang elite partai politik, tanggung jawab atas dampak pernyataan jauh lebih penting daripada sekadar niat di balik pernyataan itu. Kita tidak menyoal selera humor seseorang, tetapi menyoal bagaimana sebuah guyonan dilontarkan di ruang publik dengan potensi membentuk persepsi luas, apalagi ketika guyonan tersebut melibatkan identitas organisasi lain yang memiliki sejarah panjang dalam dinamika kebangsaan.

Cak Imin tentu bukan figur baru. Ia memahami dinamika politik, komunikasi massa, bahkan relasi antar-organisasi mahasiswa. Oleh karena itu, guyonannya tidak bisa serta merta dinilai sebagai spontanitas akrab semata. Ketika nama HMI disebut dalam konteks sindiran, maka wajar jika kader HMI merasa perlu untuk memberikan respons—bukan sebagai reaksi emosional, tapi sebagai bentuk pembelaan terhadap nilai dan kehormatan organisasi yang telah melahirkan begitu banyak tokoh besar bangsa.

Pernyataan Cak Imin: “Kalau tidak tumbuh dari bawah, itu pasti HMI” sesungguhnya menyimpan implikasi negatif. Ia seolah menyiratkan bahwa kader HMI terbiasa dengan kemudahan akses, privilege, atau proses instan dalam mencapai posisi strategis. Pernyataan ini tentu saja sangat reduktif dan jauh dari realitas.

Dengan kata lain, dalam sistem kaderisasinya, HMI justru menjunjung tinggi prinsip tumbuh dari bawah secara sistematis dan terukur. HMI membentuk kader-kadernya melalui jenjang pelatihan berlapis: Basic Training (LK I), Intermediate Training (LK II), hingga Advance Training (LK III), dengan evaluasi dan penguatan karakter yang terus menerus. Tidak hanya itu, HMI juga mewajibkan kadernya untuk aktif dalam komisariat sebagai ruang pengabdian awal, sebelum melangkah lebih jauh ke jenjang cabang, badko, dan PB HMI.

Kader HMI tidak sekadar hadir sebagai peserta forum, tetapi sebagai pembelajar aktif, pelaksana program, dan pemimpin kegiatan yang nyata. HMI membentuk kultur meritokrasi: siapa yang bekerja dan menunjukkan kapasitas, dialah yang pantas memimpin. Maka, menyatakan bahwa kader HMI tidak tumbuh dari bawah adalah kekeliruan logis dan historis.

Penulis opini sebelumnya disalah satu media, memang mengajak kita berefleksi—bahwa di antara kita pun mungkin pernah melakukan hal serupa: merosting organisasi lain. Bahkan menyebut bahwa di kampus-kampus pun seringkali terjadi hal serupa dari berbagai pihak, termasuk kader HMI. Narasi ini tampaknya ingin menyamakan kesalahan kecil dalam ruang informal dengan kesalahan besar dalam panggung publik nasional.

Baca Juga: Arogansi Elit dan Dekadensi Nalar Kaderisasi: Menyoal Pernyataan Muhaimin di Forum PB IKA-PMII

Namun, kita perlu membedakan antara interpersonal joke yang terjadi dalam konteks terbatas dan pernyataan elite yang menyebar luas dan membentuk opini publik. Ketika seorang presiden mahasiswa menyampaikan sesuatu di hadapan mahasiswa baru, ia bisa ditegur langsung oleh pimpinan organisasi atau dibina dalam forum evaluasi. Tapi ketika seorang tokoh nasional berbicara di forum besar, maka ia berinteraksi dengan media, masyarakat luas, bahkan lintas generasi. Di sinilah pentingnya etika komunikasi publik: karena semua kata punya konsekuensi.

HMI tentu tidak anti-guyonan. Tetapi HMI menolak jika guyonan itu mengandung unsur stereotip yang merendahkan kerja keras kadernya, apalagi menyimpang dari realitas. Sebab, bagi HMI, setiap kata adalah tanggung jawab, dan setiap humor harus mengandung hikmah, bukan mempertegas dikotomi atau memperkeruh relasi.

Penulis opini tersebut juga menyebut bahwa tuduhan ahistoris terhadap Cak Imin adalah tidak relevan, karena ia dianggap lebih tahu sejarah daripada kita. Klaim ini tentu sangat berbahaya. Pertama, ia menempatkan kebenaran sejarah sebagai milik elite tertentu. Kedua, ia menihilkan fakta bahwa sejarah bukan milik perorangan, tetapi milik publik dan bisa diverifikasi secara ilmiah.

Jika bicara sejarah, maka sejarah HMI tidak bisa dipungkiri sebagai organisasi mahasiswa tertua yang lahir atas kegelisahan moral dan intelektual anak bangsa terhadap keterbelakangan umat dan ketimpangan sosial. Lahirnya HMI pada 5 Februari 1947 adalah bagian dari sejarah perjuangan nasional—berdiri di masa revolusi, mengawal kemerdekaan, dan aktif dalam setiap babak transformasi bangsa, baik di era Orde Lama, Orde Baru, hingga Reformasi.

Bahkan dalam banyak kajian, HMI disebut sebagai organisasi dengan kontribusi terbesar dalam mencetak pemimpin diberbagai bidang: politik, hukum, ekonomi, pendidikan, bahkan budaya. Maka, menyederhanakan sejarah HMI sebagai ‘tidak tumbuh dari bawah’ adalah bentuk
simplifikasi yang menyesatkan dan tak berdasar.

Dalam tulisannya, penulis mengutip teori Lewis A. Coser yang menyatakan bahwa konflik bisa menjadi energi pengikat. Kami sepakat. Tetapi konflik yang dimaksud Coser bukan konflik yang dilanggengkan dalam bentuk sindiran personal atau identitas. Konflik yang sehat adalah konflik ide, gagasan, strategi, dan konsep—bukan pada ranah labelisasi organisasi. Maka, jika ingin menghadirkan konflik yang konstruktif, mari bersaing dalam adu gagasan, bukan adu sindiran.

HMI sangat terbuka untuk berdialog, bahkan berkolaborasi, dengan siapa pun. HMI tak pernah menjadikan PMII sebagai musuh. Kita adalah dua anak kandung umat Islam yang tumbuh dalam keragaman metode dan prinsip, namun punya tujuan yang sama: membentuk manusia muslim yang bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridai Allah
SWT.

Sebagai Ketua Komisariat Hukum HMI Cabang Limboto, saya tidak dalam posisi untuk menghakimi niat atau motif pribadi Cak Imin. Tapi saya juga tidak bisa tinggal diam ketika nama HMI digunakan dalam narasi yang melemahkan nilai dan etos kaderisasi. Sebab, sebagai kader HMI, kami diajarkan untuk menjaga marwah organisasi, bukan untuk mengultuskan, tetapi untuk menghargai proses panjang yang telah kami jalani.

HMI bukan hanya organisasi, tetapi rumah ide dan perjuangan. Ia bukan tempat berlindung dari tantangan, melainkan ruang untuk menghadapi tantangan dengan nalar dan iman. Maka, siapapun yang menyebut HMI secara tidak proporsional, akan kami jawab secara rasional dan berimbang.

Mari kita akhiri polemik ini dengan kepala dingin dan hati terbuka. Namun biarlah ini juga menjadi pelajaran: bahwa dalam dunia aktivisme, tidak ada ruang untuk guyonan yang melemahkan proses. Sebab, bagi kami di HMI, kaderisasi adalah jalan juang, bukan jalan pintas. Dan selagi nafas idealisme masih kami pelihara, kami akan terus menjaga nilai, nalar, dan martabat organisasi ini.

Share :  
Example 120x600