Kontras.id, (Gorontalo) – Akademisi Universitas Negeri Gorontalo, Funco Tanipu menyampaikan bahwa kepala daerah yang baru dilantik pada Februari 2025 menghadapi tantangan besar, waktu strategis yang tersedia untuk bekerja efektif ternyata sangat terbatas.
Funco mengatakan bahwa dalam rentang jabatan lima tahun, masa emas realisasi program hanya tersisa sekitar dua tahun. Selebihnya akan tersita oleh dinamika politik dan tahapan administratif yang kaku.
Secara matematis, kata Funco, dari total 1.826 hari masa jabatan (Februari 2025–Februari 2030), lebih dari separuhnya tersita oleh hari libur, cuti nasional, akhir pekan, serta hari besar keagamaan. Jika dihitung secara birokratis, hari kerja efektif menyempit jadi sekitar 738 hari. Namun bila dikaitkan dengan alur penyusunan anggaran dan program, waktu aktual bekerja bahkan lebih singkat.
“Sering kali Kepala Daerah merasa punya waktu lima tahun, padahal realitasnya tidak seperti itu. Kalau kita hitung hari efektifnya saja, hanya sekitar dua tahun. Tapi kalau kita hubungkan dengan tahapan perencanaan dan kalender anggaran daerah, maka waktu real strategisnya itu tinggal sekitar 15 bulan,” ujar Funcokepada Kontras.id, Sabtu 12/07/2025.
Funco mengatakan bahwa fase krusial pemerintahan dimulai pada tahun anggaran 2026. Kepala Daerah yang menjabat sejak 2025 tak punya ruang untuk mengubah APBD tahun itu karena warisan pemerintahan sebelumnya. Maka 2026 dan 2027 menjadi satu-satunya periode di mana visi pribadi dapat dieksekusi secara utuh.
Namun menjelang 2028, suhu politik nasional mulai meningkat seiring datangnya Pemilu dan Pilpres. Tahun 2029 pun menjadi momen transisi karena masa jabatan segera berakhir di awal 2030.
“Jadi kalau benar-benar dihitung, waktu produktif hanya ada di 2026 dan 2027. Itulah masa emas. Setelah itu, fokus mulai pecah. Politik mulai menekan. Legitimasi mulai melemah. Maka, dua tahun itu harus dipakai seolah-olah Anda hanya punya dua tahun,” kata Funco.
Baca Juga: Dilantik Komjen Eddy Hartono, Funco Tanipu Resmi Nahkodai FKPT Gorontalo
Menurut Funco, tak hanya waktu yang menjadi tantangan. Hambatan lain adalah konflik internal, birokrasi yang lamban, serta budaya politik lokal yang kurang mendukung inovasi. Jika Kepala Daerah tidak segera menetapkan prioritas, maka masa jabatan bisa habis tanpa meninggalkan warisan yang berarti.
Fokus pada Program Realistis dan Berdampak Cepat
Funco mengatakaan bahwa sebuah fenomena yang kerap muncul di awal jabatan adalah visi besar tanpa perhitungan matang. Sering kali, jargon-jargon populis seperti “daerah religius” atau “pusat ekonomi baru” digaungkan, tetapi minim strategi nyata.
“Kalau tidak bisa bangun infrastruktur yang memakan biaya besar, bangun dulu datanya. Kalau tidak bisa tuntaskan angka kemiskinan yang bombastis, turunkan dulu biaya hidup rakyat. Mulailah dari yang bisa dikerjakan cepat, berdampak langsung, dan bisa diukur,” ucap Funco.
Alih-alih mengejar ribuan program, Funco menyarankan cukup dua atau tiga inisiatif prioritas yang konkret dan dapat dirasakan langsung oleh masyarakat.
Penting pula menyelaraskan visi dengan penyusunan dokumen pembangunan, mulai dari RPJMD hingga RKPD. Penyusunan RPJMD harus segera dirampungkan agar APBD 2026 bisa menyesuaikan visi kepala daerah baru. Strategi seperti digitalisasi birokrasi, perbaikan layanan dasar, serta intervensi langsung terhadap kemiskinan dan harga kebutuhan pokok perlu dijadikan quick win.
“RKPD 2026 harus menjadi dokumen transformatif, menekankan program prioritas yang berdampak langsung, berbasis data, dan hemat anggaran,” ujar Funco.
Inpres Efisiensi Masih Terjebak di Laporan Administratif
Meskipun Presiden telah mengeluarkan Inpres tentang efisiensi anggaran, pelaksanaannya di daerah belum menyentuh inti persoalan. Menurut Funco, banyak kepala daerah hanya memenuhinya sebatas pelaporan.
“Banyak pemerintah daerah hanya menindaklanjuti Inpres dalam bentuk dokumen. Tidak ada pergeseran nyata dalam cara kerja atau struktur anggaran. Jadi efisiensi yang terjadi bukan substansi, tapi administratif,” kata Funco.
Padahal, efisiensi seharusnya memotong program yang tidak berdampak, menghapus duplikasi antar-instansi, dan mengalihkan belanja ke sektor produktif. Bila tidak segera dilakukan, semangat perubahan hanya menjadi slogan tanpa dampak.
“Kalau kita serius bicara efisiensi, maka ukurannya bukan tumpukan laporan, tapi air yang mengalir ke rumah warga dan harga beras yang masuk akal,” ucap Funco.
Pencitraan Digital Tak Bisa Gantikan Kerja Nyata
Kepala daerah saat ini kerap mengejar eksistensi di media sosial. Foto kegiatan, video kunjungan, hingga konten TikTok menjadi konsumsi harian. Namun, masyarakat tidak menilai dari viralitas.
“Kita harus jujur. Banyak yang tampak sibuk di Facebook, tapi datanya kosong. Padahal warga tidak butuh Kepala Daerah yang viral. Mereka butuh air bersih, harga beras yang masuk akal, layanan kesehatan yang cepat, dan birokrasi yang manusiawi,” ujar Funco.
Pada akhirnya, kata Funco, yang dikenang bukanlah seberapa sering seorang Kepala Daerah muncul di layar gawai, melainkan dampak nyata dari kehadirannya di lapangan.
“Sejarah tidak mencatat Anda menjabat berapa tahun. Sejarah mencatat, apakah saat Anda menjabat, ada perubahan yang dirasakan rakyat,” tandas Funco.