Kontras.id, (Gorontalo) – Bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional, puluhan aktivis yang tergabung dalam Jejak Puan turun ke jalan dan menggelar aksi damai di depan markas Kepolisian Daerah (Polda) Gorontalo, Jumat 02 Mei 2025.
Aksi ini menjadi bentuk protes atas meningkatnya kekerasan seksual di lingkungan pendidikan dan lambannya penegakan hukum terhadap para pelaku.
Sejak pukul 16.00 WITA, massa mulai berdatangan mengenakan pakaian dan membawa payung hitam. Warna serba hitam ini menjadi simbol kelamnya keadilan bagi korban, khususnya perempuan dan anak-anak di Gorontalo.
Sorotan utama dalam aksi tersebut adalah kasus dugaan pelecehan seksual yang melibatkan mantan rektor Universitas Nahdlatul Ulama Gorontalo (UNUGo). Meski laporan telah diajukan lebih dari setahun lalu, proses hukum tak kunjung menunjukkan kemajuan, dan terduga pelaku masih bebas berkeliaran.
“Kasus yang korbannya sebelas orang, pelakunya seorang profesor, masih mangkrak. Kami yang mendampingi kasus tersebut masih belum mendapat kejelasan,“ tegas Mega Mokoginta, perwakilan massa aksi.
“Momentum hari pendidikan nasional ini, kami melakukan aksi, tuntutan atas kemarahan kami kepada siapa saja yang melihat kasus kekerasan seksual sebagai kasus yang biasa saja,” sambung Mega.
Mega juga mengingatkan bahwa aksi serupa pernah dilakukan setahun lalu di momen yang sama. Ironisnya, hingga kini belum ada perkembangan berarti. Padahal, Gorontalo dikenal sebagai Serambi Madinah, julukan yang terasa kontras dengan kenyataan kekerasan seksual yang kian meningkat dalam lima tahun terakhir.
“Dan anehnya, pelakunya justru orang-orang yang punya elektabilitas,” kata Mega.
Dalam aksinya, Jejak Puan menyuarakan lima tuntutan utama:
1. Mendesak Polda Gorontalo mempercepat proses hukum atas pelaku kekerasan seksual, terutama kasus mantan rektor UNUGo yang telah dilaporkan lebih dari setahun lalu namun tak kunjung tuntas.
2. Menuntut kepolisian dan aparat penegak hukum untuk memprioritaskan hak serta perlindungan korban dalam seluruh proses hukum. Termasuk menghadirkan ahli dan psikolog forensik yang independen.
3. Meminta agar tidak ada praktik diskriminatif dalam penanganan kasus kekerasan seksual. Kepolisian harus menjunjung tinggi integritas dan tidak menghentikan penyidikan secara sepihak.
4. Mendorong Mendiktisaintek mencabut gelar akademik profesor dari pelaku pelecehan. Sosok yang memanfaatkan posisi untuk berbuat amoral tidak layak menyandang gelar kehormatan tersebut.
5. Menyerukan kepada instansi perlindungan perempuan dan anak agar lebih serius dalam mendampingi korban, tanpa lagi menjadikan keterbatasan anggaran sebagai alasan.