Kontras.id (Opini) – Keragaman agama, etnik dan politik tak bisa dijadikan alasan bersengketa. Keragaman, multikulturalisme, pluralisme dan apapun istilahnya adalah takdir yang melekat pada tubuh daerah ini. Bukan kelemahan, melainkan tambang pensyukuran. Karena unsur keragamanlah satu sama lain saling belajar, kehidupan menjadi warna-warni. Peradaban kian kaya dan sudut pandang jadi tak lagi tunggal. Langit dengan guratan pelangi akan tampak indah dilihat dari seluruh sudutnya.
Hal ini hanya dimungkinkan ketika setiap kita membuka jendela hati dan pikiran agar tetap lapang. Orang lain bukan sesuatu yang terpisah dari eksistensi kita, melainkan menyatu dan jadi bagian tak terpisahkan dari cara kita berada. Perjumpaan dengan liyan jadi momen-momen menggetarkan untuk saling menyelami keunikan masing-masing, bahkan bisa ditarik pada ranah transendental; sebagai sumur rohaniah untuk menebalkan penghayatan kontemplasi setiap kita. Daerah ini beragam agama, etnik dan wilayah yang berbeda agar kita bisa saling menyapa. Bukan justru saling menyala, dengan keunggulan yang ada pada kita.
Gorontalo Utara secara ontologis lahir, tumbuh dan dewasa lengkap dengan segenap penduduk dengan pilihan agamanya yang beragam, etniknya berlainan, bahasanya yang berbeda, dan kekayaan alamnya yang bergelimang. Kelahirannya dibidani tekad satu sama lain saling berempatik, yang tumbuh dalam diksi persatuan dan kesatuan. Dewasa dengan tindakan musyawarah dan mufakat. Serta mengandung kebijaksanaan yang tiada terkira.
Pekikan; “Di Nusantara II, Gorontalo Utara Dilahirkan. Di Gorontalo Utara, Nusantara Dibesarkan”. Sebuah dentuman keras untuk menghadirkan tonggak pilar keindonesiaan; Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka tunggal Ika. Inilah aba-aba kekuatan yang melengserkan keraguan, menyingkirkan keangkuhan kelompok dan mengikatnya simpul keragaman.
Sejarah kelahiran Gorontalo Utara melambangkan keluhuran manusia yang datang dari latar kultur dan iman politik yang berbeda untuk saling memberi sekaligus menerima gagasan satu sama lain. Sidang-sidang musyawarah mufakat periode itu menunjukkan semangat bukan memaksakan kehendak kebenaran, melainkan mencari keseimbangan kebenaran yang disepakati bersama.
Dalam 12 tahun terakhir, politik Gorut sering kali diharu biru narasi-narasi kewilayahan. Terlebih stagmen dari berita online yang mengutip “Indra Yasin; Gorut masih dipegang Atinggola” yang dirilis oleh “newsnesia” pada 27/12/2020. Gorut seolah lahir dan dipaksa tampil dalam bentuk satu wajah. Sesuatu yang seharusnya sudah selesai bahwa Gorut milik segenap jiwa dan raga rakyatnya, bukan justru paradoks pada kondisi keragaman. Gorut lahir dan berdiri diatas tanah, air dan semenanjung lautan yang diapit oleh 11 kecamatan serta 123 desa.
Narasi yang terlontar dari lidah seorang Bupati, patron birokrat yang dikenal santun dalam berkata-kata dan tenang pada setiap peristiwa tegang. Tiba-tiba narasi kewilayahan “primodialis” ditampilkan dalam panggung demokrasi yang masih jauh dari pelupuk mata, yang semata-mata untuk mengejar tampuk fana kekuasaan dan pragmatisme politik yang berjangka pendek.
Politisasi identitas ini bila digoreng sedemikian rupa sampai gosong akan berimplikasi pada hubungan kerukunan antar warga, dan kekerabatan terhambur berantakan. Stagmen “pegang” ini akan liar di akar rumput, membuat keragaman menjadi renggang dan bisa jadi dinamika perpolitikan serta birokrasi akan tegang. Mudah-mudahan elemen anak-anak muda Gorut tidak ikut “kejang-kejang”. Toh, tahun politik masih jauh bukan.
Jika saya telisik, Indra Yasin sedang ingin mengajak bermain siasat teka-teki narasi; dia memulai dengan politik adu domba “sektarian” dan blokade ketokohan, dan mengakhirinya dengan pukulan politik “rangkulan”. Namun mungkin ia lupa; Gorut saat ini butuh suplemen nutrisi perbaikan di semua lini sektor kehidupan, bukan sekedar bermain kata yang berhasrat kekuasaan. Bahkan jika kita melampaui stagmen itu, maka kita akan berjumpa pada potongan-potongan peristiwa dua tahun kepemimpinan yang klimaksnya bisa berhilir estafet “oligarki birokrasi” dari keterwakilan basis diri dan wilayahnya. Rezim oligarki ini selalu menjadi parasit yang mengerikan disetiap lembaran babak demokrasi.
Ironisnya narasi itu disampaikan pada pertemuan di depan mata, hati dan jiwa kaum muda yang sedang menyiapkan segenap kemampuan menjadi generasi pelanjut pembangunan. Seyogyanya, Indra Yasin menyampaikan pesan itu dengan terminologi yang lain. Jangan memaksakan kehendak “ambisius” politik kepada kaum muda “generasi milenial” yang memiliki masa depannya sendiri. Biarkan mereka melawan musuhnya sendiri dengan caranya sendiri. Justru seakan-akan Indra Yasin sebagai Bupati dan tokoh “generasi baby boomers” memberikan rasa ketakutan, paksaan, tendensius kepada generasi muda. Biarkan mereka berjuang dalam medan perjuangan idealisme, agen of change, moral force serta pengabdian di jalur politik dengan riang gembira sebagaimana identitas generasi milenial.
Kita semua tahu bahwa tujuan politik adalah merebut kekuasaan. Namun ada yang lebih penting dari semua itu, yaitu bagaimana politik yang hari ini tampil menjadi algojo yang mampu memberikan kepastian kepada khalayak tentang hidup yang sejahtera, beradab, non-diskriminatif, dan keragaman yang berdaulat.
Kemerdekaan politik seharusnya menjadi jalan keutamaan tentang satu tarikan nafas ucapan dan perbuatan. Yang semula janji berubah menjadi bukti. Yang semula mitos dan logos berubah menjadi etos. Yang dahulunya keraguan bergeser menjadi kebanggaan. Yang awalnya keyakinan dan pengetahuan menjadi tindakan dan kebijaksanaan.
Stagmen Indra Yasin masih menyisakan persepsi, interpretasi dan lainnya. Berharap curahan suara seperti ini yang terakhir kalinya. Ingat, banyak kehancuran suatu wilayah bangsa dan negara hanya gara-gara simbol identitas, bahkan pucuk kepemimpinan bernasib tragis akibat dampak dari kelalaian memelihara keragaman. Tak jarang masalah kata-kata seringkali berakhir dengan derita.
Semoga Indra Yasin memiliki maksud yang lebih sejuk seputar berita yang telah dibaca khalayak. Dan jika saja itu isyarat politik, maka bertanda bahwa sirene demokrasi lima tahun telah di tekan, oleh ia yang kita kenal pendiam.
Tentu sebagian rakyat masih sayang padanya, namun barangkali dengan kejadian ini ada pula rakyat yang sedang melipat lengan baju untuk membantahnya.(*)
Penulis : Zulkarnain Musada (Aktivis Muda Gorut).